TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengatakan terjadi sejumlah kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan sepanjang 2020.
Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Erick Tanjung menyebut dari 34 jurnalis yang disurvei terdapat 25 jurnalis perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual.
Hal ini didasarkan pada survei AJI Jakarta 2020.
“Dari 34 responden jurnalis yang kami survei terdapat 25 jurnalis yang pernah mengalami kekerasan seksual. Korbannya adalah jurnalis perempuan,” ujar Erick dalam Peluncuran Catatan AJI atas Situasi Kebebasan Pers di Indonesia 2021, yang diadakan secara virtual, Senin (3/5/2021).
Adapun pelaku kekerasan seksual terhadap jurnalis itu beragam, dari narasumber pejabat publik dan non pejabat publik hingga rekan kerja seperti atasan, rekan kerja sekantor non atasan dan sesama jurnalis dari media berbeda.
AJI juga menyebut marak terjadi kasus teror digital terhadap jurnalis dalam kurun waktu Mei 2020 sampai Mei 2021.
Setahun terakhir tercatat 14 kasus teror berupa serangan digital.
Sebanyak 10 korbannya merupakan jurnalis dan empat korban lainnya merupakan media daring.
"Yang menjadi catatan kita adalah maraknya teror digital terhadap jurnalis periode satu tahun belakangan ini. Jadi catatan yang kita himpun belakangan ini, yang sudah kita verifikasi, dan beberapa kita dampingi kasusnya. Ada 14 kasus teror berupa serangan digital. 10 jurnalis yang menjadi korban, 4 media online," kata Erick.
Erick menjelaskan terdapat berbagai jenis serangan yang dilakukan terhadap jurnalis atau media daring.
Setidaknya, kata dia, tercatat ada delapan kasus doxing, empat kasus peretasan, dan dua kasus Ddos (distributed denial of service).
Erick mengungkapkan sejumlah kasus yang terjadi.
Baca juga: AJI: 25 dari 34 Jurnalis Responden Survei AJI Jakarta Pernah Mengalami Kekerasan Seksual
Pertama, doxing terhadap jurnalis detik.com pada Mei 2020 terkait pemberitaan mengenai rencana Presiden Jokowi meninjau persiapan New Normal di salah satu mal Bekasi.
"Teman jurnalis ini dia dipersekusi bahkan sampai akun Go-Jeknya diretas dan dipesankan Go-Food, makanan yang banyak diantarkan ke rumahnya. Ini sudah mengancam hingga kenyamanan dan keselamatan sang jurnalis," kata Erick.
Selain itu, kata dia, doxing juga terjadi terhadap jurnalis Liputan6.com di Kendari pada Maret 2021 terkait berita yang berjudul "Mencari Keadilan, Ratusan Orang Duduki Polres Konawe Sambil Pamer Parang".
Erick mengatakan kelompok ormas setempat tidak terima dengan pemberitaan tersebut yang menyebabkan jurnalis tersebut didoxing, biodatanya disebarkan, dan dia juga mengalami ancaman, hingga diteror.
"Sampai sekarang kasus ini belum selesai, kita masih mendampingi untuk proses penyelesaiannya secara mediasi dan secara sengketa persnya juga kita serahkan ke Dewan Pers," kata Erick.
Selain itu, kata dia, doxing juga terjadi terhadap Ketua AJI Lampung pada Juni 2020.
Ketika itu, kata dia, doxing terjadi saat Ketua AJI Lampung mendampingi kasus Pers Mahasiswa yang mendapat teror digital ketika menggelar diskusi isu rasisme Papua.
Tidak hanya kepasa jurnalis, peretasan juga terjadi pada situs media Tempo.co dan Tirto.id pada Agustus 2020.
"Serangan DDos terjadi terhadap dua media yang kerap menyuarakan hak-hak perempuan dan kelompok minoritas yaitu Konde.co dan Magdalene.co," kata Erick.(*)