Sebaliknya, kekerasan berkelanjutan, dengan pertumpahan darah hanya akan mendorong masing-masing pihak untuk mengejar strategi sepihak demi mampu menghancurkan lawan secara langsung.
Untuk mengatasi efek polarisasi kekerasan, mungkin deklarasi gencatan senjata bersama atau sepihak menjadi hal yang penting.
Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa deklarasi gencatan senjata akan rapuh rusak dalam beberapa bulan pertama.
Hal itu tak lepas dari komitmen politik masing-masing pihak.
Gencatan senjata apa pun bisa renggang karena ketegangan dan skeptisisme yang tinggi.
Jika satu pihak tidak memiliki niat tulus untuk mencapai penyelesaian yang dinegosiasikan, seluruh proses akan terancam.
Selain itu, gencatan senjata sering dimanipulasi sebagai alat untuk keuntungan politik atau strategis.
Misalnya, satu pihak dapat menggunakan gencatan senjata untuk menyusun kembali kapasitas perangnya dan/atau menggerakkan pasukannya ke posisi taktis yang lebih kuat.
Gencatan senjata yang berhasil sering kali membutuhkan dasar kepercayaan di antara musuh.
Seperti kesadaran bahwa kekerasan terus-menerus merusak diri sendiri, pengakuan atas peran seseorang dalam menciptakan konflik atau empati terhadap musuh.
Namun, aspek tersulit dalam mengelola gencatan senjata adalah kemampuan untuk mendapatkan dukungan dari semua pemangku kepentingan dalam suatu konflik.
Gencatan senjata pada dasarnya tidak stabil.
Begitu konflik melebar hingga melibatkan banyak pihak, tak pelak para pihak memiliki kepentingan yang berbeda.
Dikutip dari Britannica.com, secara umum, istilah, ruang lingkup, dan durasi gencatan senjata ditentukan oleh pihak yang mengadakan kesepakatan.