"Yang jadi permasalahan sebenarnya bukan di situ, yang jadi permasalahan ketika itu apakah ini masih anak-anak atau sudah dewasa. Karena setelah dalam persidangan itu muncul fakta bahwa yang bersangkutan itu sudah pernah menikah siri," kata Suradi.
Suradi mengatakan dalam Undang-Undang Perkawinan, jika seseorang sudah menikah maka statusnya bukanlah anak-anak lagi, tetapi sudah dewasa.
Menghadapi problem hukum saat itu, kata dia, majelis juga melalui pertimbangan yang agak panjang dan mencari-cari sumber hukum yang cocok.
Dalam proses tersebut, kata dia, majelis kemudian menggunakan penafsiran yang mempersempit dalam arti perkawinan yang sah menurut kita itu selain menurut agama juga harus ada pendaftaran administrasi.
"Berdasarkan itu kita patahkan argumen dari penasehat hukum bahwa yang bersangkutan belum dewasa. Jadi walaupun begitu, perkawinannya yang dilindungi menurut hukum Indonesia, perkawinan yang sah itu sah menurut agama juga harus dicatatkan di kantor catatan sipil. Baru itu negara yang wajib melindungi," kata dia.
Berdasarkan hal tersebut, kemudian majelis menyatakan bahwa perbuatan perdagangan orang terbukti.
Namun, lanjut dia, persoalan tidak selesai di situ.
Ditemukan juga ada permasalahan yang sempat membuat majelis bingung yakni hukuman terhadap pelaku.
Pelaku dalam kasus tersebut, kata dia, dituntut untuk membayar restitusi (ganti kerugian), padahal pelakunya bukan orang yang kaya.
Majelis pun tidak yakin pelaku bisa membayar restitusi.
"Akhirnya ada yurisprudensi Mahkamah Agung yang kita pakai. Kita jatuhkan restitusi tapi dengan subsider, dengan pemidanaan," kata Suradi.
Tak berhenti di situ, pewawancara kemudian menanyakan pandangannya terkait Undang-Undang apakah yang digunakan dalam kasus perdagangan orang.
Hal itu mengingat berdasarkan data di tahun 2015, ada sekitar 138 putusan terkait kasus perdagangan orang yang umumnya menggunakan KUHP ketimbang Undang-Undang Perdagangan Manusia.
Suradi pun menjawab bahwa ketika itu yang digunakan adalah Undang-Undang Perdagangan Manusia sesuai dengan asas lex spesialis derogat legi generali atau asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.