"Kita tahu di Indonesia kapasitasnya sesak, kapasitas 1.000 diisi 2.000. Jadi hal hal ini dialami oleh semua. Ini tidak mudah memang, pemerintah harus menyediakan uang yang banyak."
"Apakah memungkinkan jika semua orang dimasukkan ke dalam penjara? Apakah para pemakai narkoba itu dimasukkan semua ke dalam penjar? Ini harusnya dievaluasi kembali."
"Nah kalau semua (pemakai narkoba) dipenjara, penjara tidak mampu menampung mereka," jelas Todung.
Untuk itu, novel ini tak hanya sebagai karya sastra, namun juga dapat menjadi pembelajaran bagi semua pembacanya.
Kegelisahan dan kritisnya pikiran Todung juga dituangkan ke dalam cerita ini.
Bagi Todung, proses hukum di Indonesia membutuhkan banyak sekali pembaharuan.
Todung menjelaskan, dirinya sangat terganggu pada proses hukum terkait dunia suap.
Baca juga: Alasan Cut Meyriska Tetap Terima Roger Danuarta Meski Dulu Tersandung Narkoba
Menurutnya ini sulit, karena prinsipnya, sangat tidak boleh menjadikan pengadilan seperti pasar.
Yakni barang siapa yang melakukan penawaran tertinggi, dia pemenangnya, ini bahaya.
Ini akan membuat proses peradilan tidak independen.
"Proses hukum di Indonesia membutuhkan banyak sekali pembaharuan apalagi sekarang jaman digital. Saya sangat terganggu misalnya untuk proses-proses hukum yang masih ada bau-bau suap."
"Nah buat saya ini sulit, kita kan tidak boleh menjadikan pengadilan seperti pasar, yakni siapa yang melakukan penawaran tertinggi, (yang menang) ini bahaya. Itu akan mempbuat proses peradilan itu sendiri tidak independen," terang Todung.
Supaya keadilan itu dapat terpenuhi dengan penilaian yang objektif.
Lepas dari itu, Todung mengaku dirinya akhirnya dapat menyelesaikan novel ini selama kurun waktu 6 bulan.