Laporan Wartawan Tribunnews Taufik Ismail
TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Deputi V Kepala Staf Kepresidenan RI (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan pengaturan terkait pendaftaran dan pendanaan Organisasi Masyarakat (Ormas) maupun Organisasi Non Pemerintah atau Non Governmental Organization (NGO), bukan untuk membatasi hak berserikat.
Menurutnya, pengaturan mengenai hak berserikat dimungkinkan dan mendapat ruang di dalam konstitusi.
Hal ini, untuk menjamin iklim kebebasan berserikat di Indonesia sejalan dengan peraturan perundang-undangan.
“Pengaturan tersebut tidak perlu dianggap sebagai serangan terhadap kebebasan berpendapat. Rasio konstitusional terkait pengaturan mengenai kebebasan berserikat merupakan praktik yang lumrah bila dikomparasikan dengan praktik di negara-negara demokrasi lainnya,” kata Jaleswari, di Jakarta, Senin (21/2/2022).
Jaleswari menjelaskan, pengaturan segala ruang lingkup terkait Organisasi Masyarakat (Ormas) sudah memiliki payung hukum: UU No 16/2017 juncto UU No 17/2013, serta perundang-undangan terkait lainnya.
Baca juga: BNPT Sebut Strategi Teroris Berubah, Gabung Partai Hingga Ormas
Pengaturan tersebut, jelas dia, mulai dari aspek pendaftaran, pendanaan, hingga operasionalnya.
Di dalam perundang-undangan terkait, ujar Jaleswari, pemerintah juga mengatur hal-hal apa yang tidak boleh dilakukan Ormas.
Ia mencontohkan, larangan menganut ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI, hingga larangan untuk terlibat dalam kegiatan yang dapat mendukung tindak pidana terorisme.
Rambu-rambu tersebut, lanjut dia, semata-mata untuk menjamin Ormas di Indonesia berjalan dalam kerangka yang sudah ditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan.
Jaleswari juga membantah organisasi asing tidak dapat memberikan dana ke masyarakat sipil.
Baca juga: KSP Sebut Presiden Jokowi akan Umumkan Kepala Otorita IKN Bulan Depan
Terlebih selama ini bantuan atau sumbangan lembaga asing menjadi salah satu sumber pendanaan.
Namun, ujar dia, ada proses dan prosedur yang harus dilewati.
Hal ini untuk menjamin bahwa bantuan yang disalurkan tidak ditujukan untuk mendukung kegiatan Ormas yang bertentangan dengan larangan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan.
“Misal kegiatan terorisme, separatism, serta kegiatan yang bertentangan dengan hukum Indonesia lainnya. Aturan ini sama berlakunya terhadap kegiatan Ormas yang didirikan oleh warga negara asing yang beroperasi di Indonesia,” pungkasnya.
Sebelumnya Pemerintah disebut mulai membatasi pendanaan dan pendaftaran organisasi non-pemerintah (ornop) atau non-governmental organization (NGO).
Hal itu disampaikan pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STIH) Jentera, Bivitri Susanti, dalam webinar 'Resiko Membongkar Oligarki: Kaitan Investigasi Korupsi dan Kebebasan Berekspresi' yang ditayangkan kanal YouTube IM57+ Institute, Sabtu (19/2/2022).
Baca juga: KSP Nilai Pengembangan KEK Mandalika Miliki Potensi Bisnis Bagi UMKM Sebesar Rp 2,2 Triliun
Dalam diskusi itu, dia berbicara soal empat ancaman terkini terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia, salah satunya terkait pembatasan pendanaan dan pendaftaran tersebut.
"Tidak terlalu kelihatan tapi sebenarnya tengah terjadi, terus terang saja sejak pemerintahannya Pak Jokowi," ucap Bivitri.
Bahkan, disebutkan Bivitri, sampai ada beberapa organisasi internasional yang meminta tolong kepada dirinya untuk memberi penjelasan mengapa pendaftaran dan pendanaan NGO menjadi sulit.
"Silahkan tanya kawan-kawan yang bergiat di ornop-ornop," katanya.
"Kenapa misalnya mereka sangat dipersulit untuk bergerak di Indonesia, dalam hal keimigrasian dan sebagainya, dan tak bisa beri dana ke masyarakat sipil, harus ke kementerian," lanjut Bivitri.
Ancaman kedua yaitu serangan dan kekerasan siber.
Bahkan, Bivitri mengaku sempat mendapatkan serangan siber yang bersifat seksual dalam sebuah pertemuan virtual via zoom beberapa waktu lalu.
"Cukup mengerikan dan traumatis," katanya.
Lalu ancaman ketiga yaitu penggunaan sistem peradilan (juducial harassment).
Bivitri melihat ancaman ini sangat parah dan harus dibongkar.
Seperti kasus antara penggiat HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dengan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.
"Tak hanya tekanan pidana, tapi juga perdata, mereka (Haris dan Fatia) juga harus menghadapi," ucap Bivitri.
Adapun ancaman keempat yakni terkait serangan fisik dan kekerasan.
Bivitri menyoroti serangan yang sangat rawan dihadapi mereka yang ada di daerah, bukan di kota besar seperti Jakarta.
"Kawan-kawan di lapangan, meninggal dunia, disiksa, serangan fisik, dan kekerasan, itu nyata," ujarnya.
Dia kemudian mencontohkan kasus yang menimpa advokat Jurkani yang meninggal dunia.
Jurkani meninggal ketika menjalankan tugasnya sebagai advokat yang mengadvokasi penolakan tambang ilegal di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.