Hal itu sesuai Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Namun, hak tersebut kini dibatasi karena Pasal 222 UU Pemilu.
Menurut pihaknya, Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan prinsip negara hukum agar presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan pemilu yang periodik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (1), dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Karena itu, ia menuntut Pasal 222 harus dihapus untuk membuka ruang lebih lebar bagi arus perubahan sesuai dengan dinamika dan aspirasi masyarakat.
"Berdasarkan argumentasi di atas, maka jelas terlihat bahwa keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945," kata pemohon.
Menurut pemohon, Pasal 222 lebih condong ke status quo yang tidak demokratis ketimbang kepada arus perubahan yang reformis.
Baca juga: Gatot Nurmantyo Siapkan Kontra Argumen dari Putusan-putusan MK Terdahulu Terkait PT 20%
Pasal 222 lebih menguntungkan parpol lama-terlebih dengan syarat hasil pemilu 5 tahun sebelumnya, dan akibatnya akan cenderung mempertahankan kekuasaan lama dan menutup peluang perubahan (reformasi).
"Padahal kekuasaan yang cenderung bertahan lama tetap akan cenderung koruptif, dan karenanya membutuhkan pembaharuan," tegas pemohon.
Karena itu, pasal 222 harus dihilangkan untuk membuka ruang lebih lebar bagi arus perubahan sesuai dengan dinamika dan aspirasi rakyat pemilih, yang lebih sesuai dengan esensi pemilihan presiden langsung oleh rakyat sebagaimana diamanatkan pasal 6A UUD 1945, dan pemilu yang periodik sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut: Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," kata Pemohon demikian dikutip dari berkas gugatan.
Kuasa hukum dari gugatan ini adalah 13 advokat dan konsultan hukum dari kantor Indrayana Centre for Government Constitution and Society (INTEGRITY) Law Firm. Denny Indrayana menjadi salah satu anggota kuasa hukum.
MK sendiri sebelumnya sudah menolak sejumlah permohonan judicial review presidential threshold dengan alasan pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional.
Beberapa gugatan yang ditolak di antaranya yang diajukan oleh Lieus Sungkharisma, Tamsil Linrung, Edwin Pratama Putra SH MH, Fahira Idris SE MH, Ferry Yuliantono, hingga gugatan yang diajukan mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo.
Secara umum dalam putusannya MK tidak menerima gugatan para pemohon yang diajukan secara terpisah, seperti mantan Gatot Nurmantyo, Ferry Yuliantono, dan Fahira Idris dkk, karena tidak mempunyai legal standing.
Diketahui Fahira Idris menggugat bersama dua anggota DPD RI lainnya, Tamsil Linrung dan Edwin Pratama Putra.(tribun network/riz/dod)