News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Masa Jabatan Presiden

ICW Desak Luhut Harus Buktikan Kebenaran Big Data Penundaan Pemilu kepada Publik

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Wahyu Aji
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana dalam Diskusi Publik bertajuk Merdeka Dari Represi Terhadap Kritik yang disiarkan di kanal Youtube PBHI Nasional pada Rabu (18/8/2021).

Laporan Wartawan Tribunews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan membuktikan kebenaran big data penundaan pemilu kepada publik.

"Kami mendesak Luhut agar segera membuka informasi publik berupa big data pengguna internet yang mendukung penundaan pemilihan umum tahun 2024," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Rabu (30/3/2022).

Kurnia menjelaskan, desakan ini didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) huruf f UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).

Maka dari itu, menurut Kurnia, pernyataan Luhut yang disampaikan dalam pertemuan yang terbuka untuk umum, dikategorikan oleh undang-undang sebagai informasi publik yang wajib disediakan setiap saat. 

"Sehingga jelas, tidak ada alasan bagi Luhut untuk menolak membuka big data yang disampaikan," katanya.

Sebagaimana diketahui, melalui wawancara siniar dalam kanal Youtube Deddy Corbuzier, Luhut mengklaim memiliki big data pengguna internet yang mendukung penundaan pemilihan umum tahun 2024. 

Jumlahnya pun tidak sedikit, ia menyampaikan setidaknya terdapat 110 juta data yang sudah terhimpun dalam big data tersebut.

Baca juga: Sekjen PDI Perjuangan Sebut Pertemuan Puan-Luhut di Bali Tak Bahas Soal Big Data

Kurnia mengatakan, dalam Undang-Undang Dasar 1945 sudah dijelaskan bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden maksimal lima tahun. 

Ini pun sejalan dengan ciri negara demokrasi dengan sistem presidensialisme yang menuntut adanya pergantian kepemimpinan dengan jangka waktu tetap. 

Selain itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga telah menetapkan bahwa pemilu akan diselenggarakan pada 14 Februari 2024.

"Atas alasan itu, mestinya setiap orang, terlebih pejabat publik, tidak berupaya melangkahi amanat konstitusi tersebut. Sehingga, pernyataan yang disampaikan oleh Luhut dan sejumlah elite politik lain layak untuk dikritisi, bahkan dikecam bersama," kata Kurnia.

ICW juga mempertanyakan apa kapasitas Luhut menyampaikan tentang big data tersebut.

Dikatakan Kurnia, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2019 tentang Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut tidak diminta untuk mengurusi perihal kepemiluan.

Baca juga: Soal Penundaan Pemilu, Masinton: Sumbernya Big Data apa Big Mouth?

Selain itu, pada 15 Maret 2022 lalu, lanjut Kurnia, Juru Bicara Kemenkomarves Jodi Mahardi juga menyampaikan bahwa big data yang disampaikan oleh Luhut dikelola secara internal. 

"Dari sini, muncul pertanyaan lanjutan, misalnya, apa yang dimaksud dengan internal? Apakah pemaknaannya diarahkan kepada Kemenkomarves? Jika iya, apa landasan hukum yang membenarkan pengelolaan big data perihal rencana penundaan Pemilu 2024 dilakukan oleh kementerian tersebut?" katanya.

Lebih lanjut, ICW turut mempertanyakan ihwal validitas metode pengelolaan dan pengambilan responden big data tersebut.

Kata Kurnia, mengacu pada rekaman siniar itu, Luhut tidak menjelaskannya secara utuh. 

Menurutnya, hal tersebut terindikasi janggal, sebab, data Luhut bertolak belakang dengan temuan sejumlah lembaga survei yang kredibel. 

"Misalnya, Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang pada awal Maret lalu mengemukakan data bahwa 70% responden menolak penundaan pemilu. Selain itu, Lembaga Survei Nasional (LSN) dan Litbang Kompas juga menyebut poin serupa dengan persentase 68,1% dan 62,3%," ungkap dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini