TRIBUNNEWS.COM , JAKARTA – Topik kewarganegaraan ganda kembali menarik perhatian publik. Beberapa minggu lalu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, mengatakan pemerintah akan mempertimbangkan keinginan diaspora Indonesia akan terakomodasinya dwi kewarganegaraan.
Hal itu diutarakan seusai menghadiri Simposium Nasional Hukum Tata Negara di Bali, 18 Mei 2022 silam.
Kabar tentang keterbukaan terhadap perubahan hukum kewarganegaraan tersebut disambut baik oleh kalangan keluarga perkawinan campuran di Indonesia.
Pada saat ini, pemenuhan hak-hak asasi manusia pasangan warga negara asing (WNA) dalam keluarga perkawinan campuran di Indonesia masih dibatasi.
Menurut Nia Schumacher, Ketua Aliansi Pelangi Anak Bangsa, sebagai keluarga dari perkawainan campuran posisi mereka berada pada posisi yang rentan.
“Hak dasar kami, Keluarga Perkawinan Campuran tidak sepenuhnya didapatkan, yaitu hak mencari nafkah dan hak untuk memiliki tempat tinggal dengan hak milik, seperti halnya keluarga Indonesia pada umumnya. Hal ini membuat kami menjadi keluarga yang rentan,” kata Nia dikutip Rabu (8/6/2022).
Adanya pemberian kewarganegaraan ganda diharapkan dapat memberikan perlindungan lebih serta membuka kemungkinan pilihan hukum yang lebih luas bagi pasangan dalam pembagian harta benda maupun bagi anak untuk menjamin perlindungan yang lebih luas.
Baca juga: Hakim Konstitusi Soroti Kedudukan Hukum dan Kasus Konkret Pemohon Uji Materiil UU Perkawinan
Dia menjelaskan, kewarganegaraan ganda yang dimaksud adalah:
i) untuk suami/istri berkewarganegaraan Indonesia yang menikah dengan warga negara asing tanpa kehilangan kewarganegaraan Indonesianya.
ii) untuk anak dari keluarga tersebut dengan tetap mempertahankan kedua kewarganegaraanya seumur hidup,
iii) supaya pasangan WNA-nya dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia tanpa kehilangan kewarganegaraan asalnya, dengan syarat sudah menikah lebih dari 10 tahun.
Baca juga: Batal Nikah Karena Beda Agama, Pasangan Ini Gugat UU Perkawinan ke MK
Dengan status kewarganegaraan ganda, seluruh anggota keluarga perkawinan campuran dapat berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan dan kesejahteraan baik keluarganya maupun masyarakat Indonesia secara umum.
Undang-undang Kewarganegaraan saat ini (UU 12/2006) memang adalah terobosan penting tetapi selama 16 tahun sejak undang-undang itu disahkan, dunia menjadi semakin dinamis dan bergerak, sehingga makin banyak orang, termasuk warga negara Indonesia, bergerak dan berintegrasi dengan berbagai komunitas global.
Akibat yang tak terhindarkan adalah meningkatnya perkawinan campuran.
Sejak tahun 2000 lebih dari 25 negara telah mengakomodir fenomena ini dengan mengubah undang-undangnya yang mengizinkan kewarganegaraan ganda.
Sehingga, kini lebih dari 130 negara di dunia menerima kewarganegaraan ganda.
Baca juga: Menteri PPPA: Perkawinan Dini Ancam Masa Depan Anak
Adapun pertimbangan-pertimbangan tentang ketertiban umum dan keamanan nasional yang dikhawatirkan timbul apabila Indonesia mengakomodasi kewarganegaraan ganda, telah diantisipasi dengan menyertakan syarat perkawinan campuran yang memungkinkan penerbitan kewarganegaraan ganda adalah sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun usia perkawinan yang sah.
Karena, pasangan yang telah menikah minimal sepuluh tahun lazimnya adalah pasangan yang memang menikah dengan dasar cinta kasih dan keseriusan untuk membina rumah tangga, bukan karena alasan semata-mata untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan tertentu.
Menurut Bivitri Susanti, Pengajar Hukum Tata Negara dan Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jantera, menekankan tidak perlu ada yang ditakutkan bagi negara menyangkut isu diberlakukannya kewarganegaraan ganda.
Menurutnya ketakutan itu sudah tidak berlasan dan relevan pada jaman sekarang.
“Jadi memang tidak ada yang perlu ditakuti untuk kewarganegaraan ganda, karena kurang relevan untuk berpikir terlalu khawatir dan di takuti pada jaman sekarang," kata Bivitri yang kerap disapa Bibib.
Dalam pembahasan seputar pemenuhan hak pasangan WNA dalam keluarga perkawinan campuran yang telah dibahas tuntas melalui Webinar yang diselenggarakan pada Kamis, 2 Juni 2022 lalu.
Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB) melalui Nia Schumacher berharap agar pemerintah segera mengakomodir tuntutan dari para keluarga dan pasangan perkawinan campuran agar bisa hidup layak dan mendapatkan hak-hak seagai warga negara.
“Kami berharap Para pemangku kepentingan, pembuat kebijakan, Pemerintah, DPR , dapat membahas isu Kewarganegaraan ganda ini dalam prolegnas 2020-2024, khususnya dapat masuk dalam list Prolegnas prioritas 2023. Kami mengapresiasi segala upaya pemerintah dan DPR sampai sejauh ini untuk melindungi keluarga perkawinan campuran," kata Nia.
Webinar yang merupakan Seri 3 dari Webinar Kewarganegaraan Ganda yang diselenggarakan oleh LPPSP dan APAB ini diharapkan dapat menghasilkan bahan pertimbangan bagi pemerintahan, pihak legislatif dan akademisi serta meningkatkan kesadaran publik tentang kekurangan kepastian hukum bagi keluarga perkawinan campuran saat ini dan bagaimana solusinya dalam bentuk kewarganegaraan ganda dapat memberikan manfaat tidak hanya untuk keluarga tersebut tetapi untuk masyarakat Indonesia secara luas.