Dia mencontohkan Palang Merah.
Salah satu protokol di dunia kemanusiaan adalah enam jam setelah kejadian bencana, relawan sudah mesti di lapangan.
Hal itu, katanya, tidak mungkin dikerjakan pemerintah, karena memerlukan formalitas, tanda tangan basah, serta penyusunan budget, singkatnya, birokrasi.
"Nah, lembaga semacam ACT atau apapun, bisa bereaksi dengan cepat. Bahkan, boleh dibilang yang paling datang duluan adalah relawan yang ada di sekitar itu,” jelas Sudirman.
Senada, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyebut, pencabutan izin sebuah filantropi sebagaimana yang dialami ACT karena diduga melakukan penyelewengan dana tidak akan menyelesaikan persoalan.
Menurutnya, penyelesaian masalah harus dilakukan secara struktural dan segera melakukan revisi undang-undang (UU).
Dia mendorong pemerintah dan DPR RI segera merevisi UU Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang guna mencegah penyelewengan.
"Beberapa kawan dan saya sendiri telah mendorong adanya perubahan Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang ini," kata Bivitri dalam kesempatan yang sama.
Tetapi, dorongan revisi undang-undang tersebut selalu terkendala di DPR RI dengan alasan politik yang tidak jelas.
"Mudah-mudahan ini menjadi momentum bagus untuk merevisi undang-undang tersebut," harap Bivitri.
Tak hanya revisi undang-undang, Bivitri menilai aturan turunan dari undang-undang itu, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1980 harus diperbarui.
Dorongan tersebut sejalan dengan kasus yang terjadi pada ACT, salah satu filantropi yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan.
Ia membandingkan keberadaan Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang bisa dikatakan cukup jauh tertinggal.
"Makanya cara berpikir pengelolaan zakat lebih modern, rapi, dan lebih akuntabel," tuturnya.