Gas air mata tersebut bahkan diarahkan kepada tribun penonton yang sebagian besar dari mereka bukanlah pihak yang menimbulkan kerusuhan sama sekali.
"Kematian pun terjadi karena banyak orang terinjak-injak dan mengalami sesak nafas pada saat keluar stadion karena menghindari gas air mata yang terus diberikan aparat," ucapnya.
"Bahkan, sempat beredar video yang menunjukkan supporter memohon pihak pengamanan untuk tidak melemparkan gas air mata kepada penonton," sambung Erasmus.
Dari kronologi tersebut, Erasmus berpendapat, terdapat kausalitas dari kematian para penonton tersebut, dan hal itu bukanlah permasalahan kode etik, melainkan sudah menjadi perbuatan pidana.
Kausalitas antara perbuatan dan selama ini, meskipun penggunaan kekuatan telah diatur di dalam regulasi internal Polri melalui Perkap Nomor 1 Tahun 2009, namun penggunaan kekuatan yang berlebihan tidak pernah diperiksa dan dipertanggungjawabkan oleh pihak kepolisian secara tegas.
"Peristiwa ini harus menjadi titik balik Kepolisian untuk dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, karena tidak seluruh kesalahan yang dilakukan personil adalah pelanggaran kode etik," tutur dia.
Oleh karena itu, Erasmus secara tegas meminta Polri untuk mengusut anggotanya tak hanya melalui sidang etik tetapi juga melalui jalur hukum pidana.
"Berdasarkan hal-hal di atas, ICJR mendorong Kepolisian untuk secara tegas mengusut anggotanya yang telah melakukan pelanggaran pidana dan mempertanggungjawabkannya sesuai dengan jalurnya dan bukan hanya melalui jalur pemeriksaan etik," tukasnya.