Pada 2019 lalu, polisi menembak dan membunuh 10 orang dalam unjuk rasa di Jakarta yang menentang pemilihan kembali Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Tahun berikutnya, ratusan orang di 15 provinsi dipukuli menggunakan tongkat saat memprotes undang-undang baru.
Baca juga: Kondisi Jenazah Tragedi Kanjuruhan: Wajah Menghitam Kena Gas Air Mata, Ada luka di Lengan dan Paha
Di bulan April 2022, polisi menembakkan gas air mata ke kerumunan mahasiswa pengunjuk rasa yang damai, membuat tiga balita terdampak.
Dunia melihat sekilas taktik itu pada tragedi Kanjuruhan, Sabtu (1/10/2022), saat petugas anti-huru hara di Kota Malang, memukuli suporter Arema menggunakan tongkat dan perisai.
Lalu, tanpa peringatan menembakkan gas air mata ke puluhan ribu penonton yang berkerumun di salah satu tribun.
Metode ini memicu keributan yang berujung pada kematian ratusan orang, salah satu bencana terburuk dalam sejarah olahraga.
Para ahli mengatakan, tragedi itu mengungkap masalah sistematik yang dihadapi polisi.
Banyak di antara petugas yang kurang terlatih dalam pengendalian massa dan sangat militeristik.
Dalam hampir semua kasus, kata para ahli, polisi tidak pernah merespons secara benar atau bertanggung jawab atas kesalahan langkah yang mereka tempuh.
“Bagi saya, ini benar-benar fungsi dari kegagalan reformasi kepolisian di Indonesia,” kata Jacqui Baker, ekonom politik di Murdoch University di Perth, Australia, yang mempelajari kepolisian di Indonesia.
Selama lebih dari dua dekade, aktivis HAM dan ombudsman pemerintah telah melakukan penyelidikan atas tindakan polisi Indonesia.
Laporan-laporan ini, menurut Baker, sering sampai ke kepala polisi, tetapi tidak banyak atau tidak berpengaruh sama sekali.
“Mengapa kita terus dihadapkan dengan impunitas?” dia berkata.
“Karena tidak ada kepentingan politik untuk benar-benar mewujudkan kepolisian yang profesional.”