Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyimpulkan 58,6 persen kasus kekerasan terhadap anak adalah kekerasan seksual.
Sayangnya, tidak semua korban kekerasan seksual terdata dan takut untuk melapor.
Menurut, Wakil Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI), dr Baety Adhayati, SpFM (K) ada beberapa faktor korban takut melapor ke pihak berwajib.
Pertama, korban biasanya mendapatkan ancaman. Kedua, pelaku merupakan orang dekat dengan korban.
Ketiga, adanya relasi kuasa antar korban dan pelaku. Ditambah lagi stigma di naba korban kekerasan seksual yang sudah tidak perawan masa depannya telah hancur.
"Padahal masalah keperawanan dalam kedokteran bukan esensial. Yang perlu diperhatikan apakah ada dampak psikologis," ungkapnya pada media briefing, Jumat (28/10/2022).
Baca juga: Tiap Tahun, 350 Ribu Perempuan Menikah di Bawah Umur, KPPPA: Harus Jadi Pekerjaan Kita Bersama
Padahal, dampak dari kekerasan seksual ini, anak bisa berhenti sekolah hingga timbul penyakit akibat penularan seksual pelaku.
Keempat, ada hambatan dari sisi psikologis seperti takut, malu karena stigma dan hal lain.
Kelima, ada juga yang menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi.
Tidak sedikit pula korban yang malah disalahkan oleh lingkungan sekitar. Terutama jika korban sampai hamil.
"Biasanya korban diisolasi, sampai nanti lahiran tidak tahu karena ada rasa malu dari korban dan keluarga. Khususnya dari keluarga, karena anak belum bisa memutuskan terbaik buat dia," pungkas.
Selain takut melapor, ada juga korban yang memilih tidak melapor.
Biasanya korban tidak sadar yang dialami adalah bentuk tindak kejahatan.