News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

KPK Kaji Penerapan Restorative Justice untuk Tindak Pidana Korupsi

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menekankan, tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang harus diselesaikan dengan berbagai tindakan terukur.

“Pertanyaannya kalau kejahatannya bersifat mencederai kepentingan publik seperti tindak pidana korupsi misal suap, dimana seharusnya pemimpin bekerja untuk publik tapi tidak (dia lakukan, itu) bagaimana? Keadilan di hadapan publik itu bagaimana me-restorenya? Ini yang harus kita kaji bersama,” kata Ghufron.

Sementara itu, Kepala Biro Perencanaan pada Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan RI, Narendra Jatna, menilai jika korupsi dipandang hanya dari sisi pengembalian jumlah nominal yang diambil maka penerapan restorative justice tidak tepat untuk digunakan.

Alasannya, biasanya kasus korupsi besar akan berbarengan dengan tindak pidana lainnya seperti Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), pajak, dan tindak pidana umum lain.

“Jadi tidak mudah kalau menggunakan (restorative justice) itu semata-mata dalam konteks kacamata tindak pidana korupsi. Dan tidak mungkin juga kalau alasannya (uangnya) dikembalikan selesai (kasusnya) karena sangat dimungkinkan tindak pidana korupsi itu ada pembarengan dengan tindak pidana lain,” kata Narendra.

Akan tetapi menurut pandangan Narendra, konsep restorative justice bisa dipertimbangkan digunakan dalam kasus khusus.

Misalnya untuk mengembalikan aset koruptor yang berada di luar negeri.

Musababnya, sejauh ini banyak koruptor yang menyimpan asetnya di luar negeri dan sangat sulit dikembalikan.

Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Umi Rozah, menjelaskan proses pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi harus tetap ada.

Hal itu sebagai pertanggung jawaban moral kepada masyarakat yang telah dirugikan dari tindakan yang dilakukan.

Menurutnya, jika ada kasus tindak pidana korupsi yang diselesaikan dengan restorative justice maka yang memungkinkan mendapatkan manfaat adalah pelaku sementara masyarakat tidak.

Dalam hal ini, Umi menilai kepentingan masyarakat adalah hal paling utama.

“Karena korbannya dari korupsi bukan individual tapi masyarakat. Kemudian dari sisi nilai keadilan apakah adil suatu kasus korupsi diterapkan restorative justice? Bagi pelaku iya, bagi masyarakat tidak,” kata Umi.

Namun begitu, restorative justice bisa dipertimbangkan untuk sarana lain. Misalnya bisa digunakan sebagai plea bargaining di tahap penuntutan untuk mengembalikan kerugian negara tetapi hanya dijadikan sebagai alasan untuk meringankan pidana pada kasus korupsi besar.

Tapi bukan serta-merta menghapuskan hukuman pidananya.

Karena itu Umi mengidentifikasi korupsi yang bisa menggunakan konsep restorative justice dengan pelbagai pertimbangan.

Yakni nilai kerugian negara ringan, kesalahan terdakwa tidak signifikan, kedudukan terdakwa dalam tipikor tidak utama, dampak tipikor tidak besar dalam pelayanan masyarakat dan perekonomian negara, dan tipikor yang tidak menarik perhatian publik.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini