Pertama, suara PBB yang dapat disuarakan perwakilannya adalah suara dari organ-organ utama PBB seperti Dewan Keamanan, Majelis Umum, Dewan HAM, Sekjen PBB, dan organ-organ tambahan.
"Sama sekali bukan suara dari pejabat Perwakilan PBB di Indonesia. Menjadi permasalah apakah pendapat Perwakilan PBB di Indonesia didasarkan pada organ-organ utama atau organ tambahan PBB?" tanya Hikmahanto.
Kedua, apakah pernyataan dari Perwakilan PBB di Indonesia sudah melalui kajian yang mendalam atas perintah dari organ utama dan organ tambahan?
"Seperti misalnya ada special rapporteur (pelapor khusus) yang mendapat mandat dari organ utama?" ucap Hikmahanto.
Ketiga, kata Hikmahanto, pernyataan yang disampaikan oleh Perwakilan PBB di Indonesia jelas bertentangan dengan Pasal 2 ayat 7 Piagam PBB.
Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa "Tidak ada hal yang terkandung dalam Piagam ini yang memberikan kewenangan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk campur tangan dalam masalah yang pada dasarnya dalam yurisdiksi domestik setiap negara...).
"Pernyataan Perwakilan PBB terkait KUHP baru seolah memberi kewenangan PBB untuk campur tangan dalam masalah yang pada dasarnya masuk dalam yurisdiksi domestik negara Indonesia," tegas Hikmahanto.
Hikmahanto menegaskan perwakilan PBB di Indonesia seharusnya menghormati proses demokrasi atas KUHP baru di Indonesia.
"Perwakilan PBB di Indonesia tidak perlu mengajari apa yang benar dan tidak benar terkait HAM yang cenderung HAM perspektif negara barat," ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menuturkan perwakilan PBB di Indonesia seharusnya memberi ruang yang luas agar publik dan sistem ketatanegaraan di Tanah Air yang beropini bila KUHP baru tidak selaras dengan HAM.
Karenanya, Hikmahanto meminta Kemlu agar memanggil Kepala Perwakilan PBB di Indonesia.
"Jangan sampai individu yang menduduki jabatan di Perwakilan PBB Indonesia yang sebenarnya petualang politik menciderai ketentuan-ketentuan yang ada dalam Piagam PBB," imbuhnya.