TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) di bawah kepemimpinan Ketua Umum (Ketum) Dewan Pimpinan Nasional (DPN), Otto Hasibuan, menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) di Batam pada 12-13 Desember 2022.
Otto dalam siaran persnya menyampaikan bahwa Rakernas ini membahas berbagai hal.
Mulai evaluasi program-program kerja sampai pada pembahasan isu-isu strategis yang mengemuka dalam dunia advokat, seperti putusan Mahkamah Konstitusi (MK), perjuangan single bar, dan lain-lain.
Dikatakan Otto, Peradi selaku wadah tunggal sesuai UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003, terus memperjuangkan single bar.
Munculnya berbagai organisasi advokat akibat Surat Ketua MA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015.
Baca juga: Cetak Advokat Andal dan Berintegritas, DPC Peradi Jakarta Barat Gandeng Ubhara Kembali Gelar PKPA
Menurutnya, single bar sebuah keharusan karena merupakan amanat UU No. 18 Tahun 2003. Namun MA tetap menerbitkan aturan melawan UU.
Putusan MK No.91/PUU/2022 yang membatasi masa kepemimpinan organisasi advokat maksimal dua periode, baik secara berturut-turut atau tidak, kian memperumit persoalan yang dihadapi advokat.
“Putusan MK jelas-jelas telah mengkooptasi kebebasan berserikat dan berkumpul dari para advokat,” kata Otto.
Menurutnya, dalam UU Advokat organisasi advokat (OA) merupakan organ mandiri dan independen sehingga tidak dibentuk dan dibiayai dari anggaran negara.
“Sekarang independensi advokat telah diobok-obok oleh MK dan MA. Ironis nasib advokat di Indonesia ini,” ujarnya.
Terkait itu, Rakernas ini membahasnya dalam diskusi bertajuk “Tinjauan Akademis terhadap Putusan MK No. 91/PUU/2022” menghadirkan Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Gayus Lumbuun; dan Dosen Hukum Tata Negara dan Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, sebagai narasumber.
Gayus menyampaikan, pemohon uji materi bukan lagi meminta MK untuk membuat makna atau menafsirkan Pasal 28 Ayat (3) UU Advokat, melainkan membuat regulasi baru.
Menurutnya, partisipasi anggota dan kepastian hukum atas hak anggota sudah diatur dalam AD/ART organisasi yang dibuat oleh organisasi advokat sesuai dengan mekanisme yang berlaku dalam organisasi.
“Pertimbangan dan penilaian MK ini sudah jauh masuk ke ranah kebebasan berserikat dan kebebasan mengatur serikat atau perkumpulan yang menjadi kedaulatan anggota,” tutur Gayus.
Dengan demikian menurutnya, MK telah melakukan abuse of power berdasarkan tiga hal, yakni mencampuri kebebasan anggota organisasi dan atau kedaulatan organisasi dalam menentukan sikap organisasi, penalarannya dengan alasan pertimbangan hukumnya bukan pada konstitusi yang nyata dan tegas sudah diatur UUD dan kewenangan dalam memutus perkara, dan megesampingkan fakta yuridis dan faktual bahwa organisasi advokat adalah mandiri dan menjadi milik dari anggotanya sebagai pihak yang berdaulat atas organisasinya.
Adapun Fahri Bachmid, menjelaskan masa jabatan (periodisasi) pempimpin organisasi advokat, kekuatan tetap dari putusan sebagaimana dianut dalam Pasal 60 Undang-Undang MK bertujuan untuk tercapainya suatu kepastian hukum. Namun, pemberlakuan tanpa pengecualian tertentu, dapat menyebabkan kemandekan dalam perkembangan hukum di masyarakat.