Produksi beras sepanjang tahun ini mencapai 31,90 juta ton, sedangkan konsumsi nasional 30,20 juta ton.
Selain itu, konsumsi beras per kapita trennya juga menurun.
Di sisi lain, data perberasan semestinya semakin bagus dan akurat, pantauan luas tanam dan luas panen pun sudah didukung dengan penggunaan satelit.
Artinya, kata Amin, jika alasan impor beras karena kekurangan pasokan, maka kemampuan Bulog mengamankan cadangan beras dengan menyerap produksi petani dipertanyakan.
"Pemerintah seharusnya mencari akar masalah dari merosotnya CBP yang dikelola Bulog. Tren rendahnya serapan Bulog itu sudah terjadi sejak Juli 2022, mengapa tidak diantisipasi pemerintah sejak dini?” kata Amin.
Kalau dirunut akar masalahnya, tingginya harga pembelian pemerintah (HPP) menjadi penyebab merosotnya daya serap Bulog terhadap gabah petani.
Namun tingginya HPP gabah, juga tidak benar-benar dinikmati oleh petani.
Adanya peningkatan biaya produksi akibat faktor eksternal menyebabkan biaya yang harus dikeluarkan petani semakin tinggi.
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) memicu kenaikan biaya bahan baku dan biaya pendukung lainnya, selain faktor depresiasi nilai tukar dan kenaikan harga benih, lahan, dan pupuk.
"Alokasi anggaran untuk ketahanan pangan tahun 2022 ini mencapai Rp 94,1 triliun. Masa iya para menteri dan Menko terkait tidak bisa berkoordinasi dan bekerjasama untuk menyelesaikan akar masalah ini," tandasnya.