Bahkan pada 1 Januari 2023, berdasarkan perkembangan dinamika atmosfer, satu peta wilayah Indonesia tidak terlihat karena tertutupi warna hijau tua pekat.
"Bahkan 1 Januari hampir menutupi seluruh wilayah Indonesia. Peta Indonesia tidak terlihat tertutup warna hijau tua pekat," ungkap Dwikorita.
"Fenomena inilah yang menyebabkan warna hijau tua tadi yang mengindikasikan adanya hujan lebat hingga ekstrem," jelas dia.
Cuaca ekstrem ini lanjut BMKG, akan mulai melemah pada 5-6 Januari 2023.
"Tanggal 4 Januari mulai berkurang tapi masih tetap menutupi sebagian wilayah Sumatera dan Laut Natuna, dan wilayah Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Nusa Tenggara," ungkapnya.
"Tanggal 5 Januari mulai mereda, berkurang," kata dia.
Sebelumnya BMKG mengatakan potensi cuaca ekstrem yang terjadi selama Nataru dipicu oleh sejumlah fenomena anomali dan dinamika atmosfer yang terjadi secara berbarengan.
Fenomena tersebut adalah peningkatan aktivitas monsun Asia yang memicu pertumbuhan awan hujan secara signifikan di wilayah Indonesia bagian barat, tengah dan selatan.
Kemudian, intensifikasi atau semakin intensifnya fenomena seruakan dingin Asia yang dapat meningkatkan kecepatan angin permukaan di wilayah Indonesia bagian barat dan selatan, serta meningkatkan pembentukan awan hujan menjadi lebih intensif di sekitar Kalimantan, Sumatera, Jawa, Bali hingga Nusa Tenggara.
Selain itu, adanya indikasi pembentukan pusat tekanan rendah di sekitar wilayah perairan selatan Indonesia yang dapat memicu peningkatan pertumbuhan awan konvektif yang masif, dan berpotensi menyebabkan hujan intensitas tinggi dan dikhawatirkan dapat mencapai ekstrem.
Kemudian, terpantaunya aktivitas gelombang atmosfer yaitu fenomena Madden Julian Oscillation, yang merupakan fenomena pergerakan arak-arakan awan hujan dari arah Samudra Hindia di sebelah timur Afrika. Pergerakan awan ini memiliki jalur lintas Samudera Hindia menuju Samudra Pasifik tapi melewati Kepulauan Indonesia.