"Sedangkan indeks tertentu itu siapa yang menentukan?" sambungnya.
Yang kian membahayakan, menurut KSPI, formula penghitungan upah minimum ini rupanya bisa berubah kapan saja seperti yang dimuat di pasal 88F: "Dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 88D ayat 2.
"UU itu seharusnya rigid, tidak boleh ada pengecualian. Ini jadi seenaknya saja. Perppu memberikan mandat kosong ke pemerintah bisa mengubah-ubah formula. Bagaimana ini?"
Said Iqbal menduga, pasal 88F ini ditujukan untuk melindungi beberapa perusahaan yang tidak mampu membayar kenaikan upah akibat krisis keuangan setelah dilanda pandemi Covid-19.
Tapi karena tidak spesifik menyebutkan frasa "perusahaan yang merugi" bisa dipakai untuk mengatasnamakan seluruh perusahaan. Padahal tak semua terkena dampak akibat Covid.
Pekerja alih daya tidak ada kriterianya
Pasal yang mengatur soal pekerja alih daya tertulis di pasal 64 sampai pasal 66.
Namun kata Said Iqbal, tidak diterangkan jenis pekerjaan apa saja yang boleh dilakukan oleh pekerja alih daya atau outsourcing.
KSPI mendesak pemerintah agar mengembalikan aturan pekerja alih daya ke Undang-Undang Ketenagakerjaan yang membatasi lima jenis pekerjaan yakni sopir, petugas kebersihan, sekuriti, katering, dan jasa migas pertambangan.
"Karena tidak disebutkan, makin enggak jelas. Itu artinya masih membebaskan semua jenis pekerjaan boleh dialih dayakan," jelas Said Iqbal.
Pekerja kontrak tak ada batas waktunya
Mengenai pekerja kontrak, KPSI mengatakan tidak ada perubahan seperti yang sebelumnya tertulis di UU Omnibus Law.
Di mana tak ada pasal yang menjelaskan batas waktunya.
Padahal kalau merujuk Undang-Undang Ketenagakerjaan, pekerja bisa dikontrak paling lama dua tahun dan diperpanjang satu tahun.