Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil turut menyoroti, menurunnya skor indeks persepsi korupsi (IPK) di Indonesia yang semula berada di angka 38 menjadi 34.
Terkait merosotnya skor IPK tersebut, Djamil meyakini tidak ada pengaruhnya terhadap dampak perubahan atau revisi Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).
Dirinya justru menilai, kalau hal tersebut karena adanya pengaruh dari kinerja pemerintah.
"Saya kurang percaya kalau revisi menjadi penyebabnya. Justru kinerja pemerintah yang menyebabkan IPK kita melorot," kata politisi dari PKS tersebut saat dikonfirmasi Tribunnews, Rabu (1/2/2023).
Djamil menyatakan, menurunnya skor IPK itu juga telah menunjukkan secara gamblang kalau upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami hambatan.
Bahkan, kata dia, hambatan yang dialami oleh pemerintah dan lembaga terkait tersebut dinilai dalam taraf yang luar biasa.
"Turunnya indeks IPK Indonesia menunjukkan bahwa agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami hambatan yang luar biasa," kata dia.
Baca juga: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Turun, Gus Yahya Ajak Semua Pihak Terus Berjuang dan Tak Putus Asa
"Rendahnya skors kebebasan masyarakat sipil berkorelasi turunnya IPK tersebut. Selain adanya dugaan bahwa revisi uu kpk membuat IPK menjadi turun," tukasnya.
Sebelumnya, Sebelumnya, Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 merosot empat poin menjadi 34 dari sebelumnya 38 pada 2021.
Skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.
Dengan raihan tersebut, Indonesia berada di posisi 110 dari 180 negara yang disurvei atau melorot 14 tangga dari tahun sebelumnya yang mencapai rangking 96.
Menurut mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Praswad Nugraha, penurunan IPK tersebut merupakan tanggung jawab Presiden Jokowi selaku kepala negara.
"Kata-kata Presiden Joko Widodo terkait kerja, kerja dan kerja dalam kampanye calon presiden pada 2019 yang lalu akhirnya menjadi kenyataan. Ironisnya kerja tersebut dikongkritkan Presiden Joko Widodo secara nyata melalui kerja pelemahan pemberantasan korupsi," kata Praswad lewat keterangan tertulis, Selasa (31/1/2023).
Diketahui, penurunan skor IPK ini diikuti pula dengan turunnya komponen PRS International Country Risk Guide, PERC Asia, dan sub-komponen lain secara signifikan.
Beberapa komponen dimaksud mencerminkan terpuruknya performa kinerja pemberantasan korupsi hampir di semua aspek, termasuk competitiveness yang selalu digadang-gadang dalam sektor investasi.
Alih-alih melakukan berbagai upaya penguatan, menurut Praswad, Jokowi tidak ada hentinya mengeluarkan paket kebijakan yang secara vulgar memukul mundur kinerja pemberantasan korupsi.
Seperti pemberlakuan revisi UU KPK, tidak terungkapnya pelaku intelektual penyerangan Novel Baswedan, serta pemberhentian pegawai KPK melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dengan melanggar HAM dan maladministrasi.
"Hal itu ditambah dengan semakin menurunnya kualitas kasus yang ditangani KPK adalah contoh nyata proses pelemahan tersebut," kata Praswad.
"Diperburuk lagi, tontonan drama klasik dinasti politik semakin membabi buta telah bisa dilihat oleh publik secara kasat mata tanpa malu-malu lagi," lanjut Ketua IM57+ Institute itu.
Praswad juga mengatakan Presiden Jokowi tidak menepati janji kampanye untuk memperkuat KPK dalam pemberantasan korupsi yang berkontribusi secara signifikan dalam penurunan skor IPK terburuk pasca-reformasi.
Bahkan, diingatkannya, Jokowi pernah menyampaikan akan menambah 1000 penyidik untuk memperkuat KPK.
"Akan tetapi, alih-alih memperkuat, pelemahan terhadap sendi-sendi anti-korupsi terus dilakukan, termasuk malah mengurangi jumlah pegawai KPK melalui pemecatan. Hasilnya, saat ini janji penguatan hanya sekedar menjadi basa-basi belaka," sindirnya.
Praswad menyebut narasi yang dibangun Presiden Jokowi melakukan revisi UU KPK dengan dalih memperkuat pemberantasan korupsi ternyata hanya sekadar halusinasi belaka untuk menutupi kepentingan lainnya.
Pasca-revisi, menurutnya, ternyata kondisi pemberantasan korupsi tindak kunjung membaik.
Artinya, Praswad mengatakan, hasil IPK yang membuat Indonesia bahkan berada di bawah negara yang belajar di Indonesia menjadi bukti penguat bahwa revisi UU KPK untuk memperkuat KPK hanya merupakan halusinasi belaka.
"Dan hari ini faktanya pemberantasan korupsi kita melemah dan terpuruk pada titik terendah," kata dia.
Ia berpendapat apabila kondisi ini didiamkan maka akan adanya dampak yang signifikan pada sektor lainnya.
Hal tersebut mengingat anti-korupsi adalah enabling factor (faktor yang memungkinkan) bagi perlindungan HAM, sehatnya ekonomi, perlindungan lingkungan dan keberlanjutan.
"Rakyat harus menyadari bahwa narasi-narasi keberpihakan pada sikap anti-korupsi tidak lebih dari kata-kata omong kosong tanpa makna. Semakin hari, semakin banyak bukti nyata bahwa rezim pemerintahan ini terus memukul mundur demokrasi dan pemberantasan korupsi," kata Praswad.