"Kami punya cita-cita, di tahun 2030 kita tidak akan membangun TPA lainnya. Di tahun 2040 tidak akan ada TPA lagi. Itu cita-cita mulia."
Vivien mengungkapkan, TPA menjadi faktor yang berperan menyebabkan gas emisi rumah kaca.
"Nah kalau dari sampah dan limbah itu memang yang memberikan faktor gas emisi rumah kaca itu adalah dari TPA," kata Vivien, di Jakarta, Rabu ini.
Ia kemudian menjelaskan, hal itu disebabkan oleh sampah organik yang dibuang di TPA menghasilkan gas metan.
"TPA dari mana? Dari gas metannya. Sampah organik dibuang. Dari situ menghasilkan gas metan. Nah itulah yang menghasilkan gas emisi rumah kaca," tuturnya.
Oleh karena itu, kata Vivien, pihaknya berupaya sedikit demi sedikit mengelola dan mengurangi sampah yang masuk ke TPA.
Selain itu, ia berharap, di tahun 2030, Indonesia tidak perlu lagi membangun TPA baru.
"Nanti diharapkan pada tahun 2030 itu kita dengan TPA yang ada aja. Jadi jangan ada TPA baru lagi," ujarnya.
"Antara 2030, kita punya target di 2040. 10 tahun itu kita harapkan TPA yang ada itu kita lakukan landfill mining. Sehingga diharapkan 2040 tidak ada lagi," kata Vivien.
Baca juga: Jelang HPSN 2023, KLHK Sebut Tragedi TPA Leuwigajah Jadi Renungan Penuntasan Pengelolaan Sampah
Adapun ia menjelaskan, landfill mining merupakan metode untuk menambang TPA.
"Jadi kita mengambil sampah-sampah lama itu, kemudian dijadikan bricket sampah tadi," ucapnya.
Sebelumnya, Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) tahun ini akan jatuh, pada tanggal 21 Februari 2023 mendatang.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan, pada HPSN 2023 ini mengangkat tema "Tuntaskan Kelola Sampah Untuk Kesejahteraan Masyarakat".
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 KLHK, Rose Vivien Ratnawati mengatakan, pemilihan tema tersebut salah satunya dilatarbelakangi oleh tragedi longsor di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, pada tahun 2005 silam.