Saiful menjelaskan pada masyarakat di negara-negara seperti Amerika Serikat atau Eropa Barat terjadi perdebatan antara dua kelompok ideologi.
Kelompok pertama, adalah mereka yang menginginkan peran negara lebih besar untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang berkembang di masyarakat.
Kelompok kedua, mereka lebih percaya kepada masyarakat sendiri yang dapat menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mereka hadapi.
Di Eropa, kata dia, kelompok pertama disebut sosialis dan kelompok kedua disebut liberal.
Di AS, kata dia, kelompok pertama disebut kiri atau liberal sedangkan kelompok kedua disebut kanan atau konservatif.
Baca juga: Hasil Survei SMRC: Ganjar Dipuncak, Prabowo dan Anies Bersaing Ketat di Urutan Kedua
Menurut Saiful perdebatan tentang ideologi ekonomi tersebut juga mungkin relevan di Indonesia.
Namun yang lebih penting, menurut dia, adalah apakah perbedaan ideologi tersebut akan membuat masyarakat terbelah atau tidak.
"Setelah kita teliti semua, kita menemukan kecenderungannya memang, masyarakat kita inginnya peran negara lebih besar. Rata-ratanya skornya adalah 4,31," kata Saiful.
"Itu artinya secara umum menginginkan negara lebih banyak berperan untuk kesejahteraan masyarakat. Jadi cukup kiri kalau menggunakan istilah di Amerika. Atau cukup sosialis masyarakat kita kalau ini di Eropa. Itu keadaannya," sambung dia.
Namun demikian, kata dia, menurutnya gambaran pada studi tersebut tidak menunjukkan adanya polarisasi.
Kurva yang ditunjukan dalam studi tersebut, kata dia, mencerminkan kurva moderat.
"Di satu sisi, masyarakat ingin agar bisa berusaha sendiri, tapi di sisi lain juga tetap menganggap penting peran negara, karena kenyataannya banyak masyarakat yang membutuhkan peran atau bantuan negara," kata dia.
"Oleh karena itu kalau dilihat dari sisi ini, walaupun cenderung kiri dan menginginkan intervensi negara, tapi posisi ini moderat," sambung dia.