Pada tahun 2020, kata dia, Direktorat Jenderal Bea Cukai telah melakukan beberapa identifikasi entitas wajib pajak baik badan maupun wajib pajak orang pribadi.
Dengan adanya surat itu, kata dia, kemudian dilakukan pertemuan high level meeting antara Kemenkeu dengan PPATK dalam rangka untuk membangun kasus.
Baca juga: Dorong Kasus TPPU Emas Rp 189 Triliun Diusut, Benny K Harman: Ini Dahsyat!
Pertemuan tersebut, kata Sri Mulyani, terutama untuk menyikapi putusan PK di mana dua orang diputus lepas dan perusahaan dipidana denda Rp500 juta.
Bulan Juni sampai dengan Agustus 2020, lanjut dia, Direktorat Jenderal Bea Cukai melakukan analisa terhadap entitas wajib pajak badan yang terkait kepabeanan.
Hasil analisa total dari Pemberitahuan Impor Barang dan PEB-nya, kata dia, mencapai Rp18 triliun.
Kemudian dilakukan paparan Bea Cukai ke PPATK untuk membangun kasus dari hasil analisa tersebut.
Termasuk dalam hal ini analisa terhadap penerima lokal, analisa aspek dari kepabeananan.
Dari pertemuan tersebut, lanjut dia, disimpulkan perlu pendalaman bersama untuk membuktikan indikasi pelanggaran di bidang kepabeanan.
"Ini tindak pidana asalnya adalah kepabeanan. Dan dilakukan pendalaman sekarang melibatkan aspek perpajakannya. Maka DJP kemudian diundang dan terlibat," kata dia.
Kerja sama bilateral Direktorat Jenderal Bea Cukai dengan PPATK, kata dia, kemudian semakin diperkuat.
Kemenkeu dan PPATK, lanjut dia, di antaranya melakukan pelatihan bersama, pengumpulan data informasi, joint investigasi, bantuan tenaga ahli, dan kajian bersama.
"Bahkan kita melakukan case building terutama menyangkut case impor ekspor emas," sambung dia.
Pada Oktober 2020, lanjut Sri Mulyani, dilakukanlah pertemuan antara Direktorat Jenderal Bea Cukai, Direktorat Jenderal Pajak, dan PPATK untuk melakukan analisa tripartit mengenai kasus emas.
Bentuk kerja sama tersebut, kata dia, dalam rangka pertukaran data intelijen yang sifatnya informal untuk melakukan analisas sektoral dan sektor potensi terutama penerimaan negara.