Lebih lanjut, Qodari mengatakan, Presiden Jokowi sangat berpotensi menjadi King Maker di 2024, bukan hanya bagi terbentuknya poros koalisi melainkan juga preferensi masyarakat terhadap para kandidat di pilpres.
“Jadi kalau koalisi itu kan pengaruh Jokowi kepada para ketua umum, tetapi pada tataran pemilih masyarakat itu pengaruh Jokowi kepada masyarakat dan itu kaitannya dengan tingkat kepuasan,” katanya.
Oleh sebab itu, Qodari menegaskan untuk dapat menjadi king maker di 2024, Presiden Jokowi harus mempertahankan tingkat kepuasannya minimal diangka 70 persen.
Baca juga: Pengamat: 2024 Bukan Cuma Kompetisi Antar Capres, Tapi juga Antar King Maker
“Kalau Pak Jokowi mau jadi king maker di level masyarakat maka kemudian tingkat kepuasannya harus selalu tinggi minimal 70 persen. Semakin tinggi tentu posisi Pak Jokowi sebagai king maker akan semakin kuat dan tambah kuat peran sebagai king maker,” ucapnya.
Qodari membandingkan tingkat kepuasan menjelang akhir kepemimpinan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Presiden Jokowi, dimana saat akhir masa jabatan Presiden SBY sulit menjadi king maker karena tingkat kepuasannya rendah.
“Sebagai perbandingannya, peran sebagai king maker ini kan sulit dilakukan oleh SBY tahun 2013. Pertama karena dia sibuk dengan masalah partai politiknya, waktu itu banyak kasus. Kedua, setahun sebelum pencoblosan tingkat kepuasan SBY di surveinya Indo Barometer cuma 37 persen, bahkan beberapa bulan sebelumnya di survei LSI Lingkaran kalau nggak salah itu 35 persen saja,” ujarnya.
Sehingga menjadi mustahil, kata Qodari, jika tingkat kepuasan seorang presiden rendah dapat berpengaruh terhadap konstelasi pilpres berikutnya.
“Bahkan sebaliknya, kalau ada presiden petahana tingkat kepuasannya 30 persen itu malah bahaya bagi calon yang didukungnya karena justru akan kalah. Masyarakat tidak mau memilih calon yang diendorse oleh presiden yang tingkat kepuasannya rendah,” tandasnya.