Berikut ini poin-poin petitum permohonan yang dikirimkan Viktor.
Berdasarkan seluruh uraian-uraian sebagaimana disebutkan di atas, PARA PEMOHON memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili permohonan ini untuk berkenan memutuskan:
1. Mengabulkan permohonan PARA PEMOHON untuk seluruhnya.
2. Menyatakan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4439) bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 60 (enam puluh) tahun.”
Atau,
Menyatakan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4439) bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 60 (enam puluh) tahun bagi perwira dan 58 (lima puluh delapan) tahun bagi bintara dan tamtama”.
Atau
Menyatakan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4439) bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: dapat diperpanjang sampai dengan usia 60 (enam puluh) tahun bagi seluruh Perwira dalam Dinas Keprajuritan Tentara Nasional Indonesia sepanjang masih dibutuhkan untuk kepentingan Pertahanan Negara.
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau, apabila Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Dilansir dari laman resmi MK, mkri.id, MK sebelumnya telah menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang diajukan oleh Euis Kurniasih, Jerry Indrawan G, Hardiansyah, A. Ismail Irwan Marzuk, Bayu Widiyanto, dan Musono dalam sidang yang digelar di MK, Selasa (29/3/2022) secara daring.
MK menilai batas usia pensiun TNI yang menurut para Pemohon perlu disetarakan dengan batas usia pensiun Polri merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang yang sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan dan sesuai dengan jenis serta spesifikasi dan kualifikasi jabatan tersebut atau dapat melalui upaya legislative review.
Namun demikian, menurut MK, meskipun penentuan batas usia pensiun TNI merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, MK perlu menegaskan kembali peran yang dilakukan kedua alat negara tersebut memang berbeda meski keduanya memiliki kedudukan kelembagaan yang setara dan strategis serta merupakan kekuatan utama sistem pertahanan keamanan rakyat semesta.
Mengacu pada keterangan Presiden dan keterangan DPR yang juga dibenarkan oleh keterangan Pihak Terkait dalam hal ini Panglima TNI, revisi UU TNI termasuk mengenai batas usia pensiun TNI telah tercantum dalam Daftar Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua Tahun 2020-2024.
Sehingga demi memberikan kepastian hukum, menurut MK, pembentuk undang-undang harus melaksanakan perubahan UU TNI dengan memprioritaskan pembahasannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Menurut MK, Pasal 53 dan frasa ‘usia pensiun paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun bagi perwira dan 53 (lima puluh tiga) tahun bagi bintara dan tamtama’ dalam Pasal 53 dan Pasal 71 huruf a UU TNI tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu permohonan Pemohon tidak beralasan hukum untuk seluruhnya.
Terhadap putusan MK tersebut empat Hakim Konstitusi yakni Aswanto, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, dan Enny Nurbaningsih menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion).