"Dengan kata lain, diperkirakan bahwa pada waktu itu di kepala GRT sudah muncul pemikiran atau imajinasi tentang kematian korban," jelasnya.
"Pada momen ketika pemikiran atau imajinasi kematian SA itu muncul dalam benak GRT, maka dapat ditafsirkan lengkap alur perbuatan GRT di mana perilaku kekerasan bereskalasi dan disertai dengan imajinasi tentang kematian sasaran," tutur Reza.
Berdasarkan penjelasan itu, Reza berharap Polrestabes Surabaya patut mendalami kemungkinan penerapan pasal 338 KUHP terhadap GRT.
Menurutnya, yang perlu diselidiki adalah ada tidaknya kontrol diri sebagai perwujudan kesadaran GRT.
Dan guna memastikannya, perlu ditemukan lima hal di bawah ini:
1. Pola eskalasi perilaku kekerasan GRT terhadap sasaran (SA);
2. Di samping rentang waktu kekerasan secara keseluruhan, cek pula interval antara episode kekerasan yang satu dan lainnya;
3. Periksa ponsel guna memantapkan ada tidaknya pesan atau komunikasi yang menggenapi eskalasi kekerasan GRT terhadap SA;
4. Periksa apakah SA dalam keadaan hamil atau kondisi-kondisi fisik lainnya yang bisa menjadi pretext bagi GRT untuk melenyapkan SA;
5. Baik jika dapat ditakar kadar alkohol dalam tubuh GRT. Apakah kadar alkohol tersebut berada pada level yang masih memungkinkan ia melakukan kontrol terhadap pikiran dan perilakunya sendiri.
Penjelasan Polisi
Mengenai kronologi tewasnya DSA, Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pasma Royce, mengungkapkan awalnya korban dan pelaku dihubungi oleh seorang rekan GRT saat sedang makan.
Mereka kemudian diajak karaoke pada Selasa (3/10/2023) malam.
"Korban dan GRT menjalin hubungan sejak bulan Mei, kurang lebih 5 bulan. Pada Selasa pukul 18.30 WIB, saat sedang makan, lalu dihubungi oleh rekan saksi empat untuk diajak ke tempat karaoke," kata Royce saat ungkap kasus GRT, dilansir YouTube Warta Kota Production.