TRIBUNNEWS.COM - Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) menuai polemik.
Dalam draf RUU tersebut, terdapat usulan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tidak lagi dipilih lewat pilkada atau pilgub, tetapi ditunjuk oleh presiden.
Selain itu, ada pula aturan penunjukan wali kota dan bupati oleh gubernur, tanpa perlu persetujuan DPRD.
RUU DKJ merupakan inisiatif DPR RI dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (5/12/2023) lalu.
Saat itu terdapat delapan fraksi yang setuju dengan usulan RUU DKJ, yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP.
Hanya fraksi PKS yang menolak RUU tersebut.
Baca juga: Pakar Hukum Tata Negara Ungkap 3 Keanehan RUU DKJ, Duga Ada Unsur Politis
Berikut Tribunnews.com rangkum fakta-fakta RUU DKJ yang menuai polemik.
1. Dianggap Bermasalah dan Kental Unsur Politis
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai RUU DKJ bermasalah.
Ia mencatat ada tiga permasalahan dalam RUU DKJ.
"Ada tiga hal setidak-tidaknya untuk menyederhanakan masalah ini. Satu, sikap inkonsisten dalam demokrasi. Kedua, membingungkan dalam sikap para pemerintah. Ketiga, sangat politis," ucap Feri, Jumat (8/12/2023).
Feri lantas menjelaskan maksud adanya unsur inkonsistensi dalam demokrasi yang ditunjukkan RUU DKJ.
Menurut dia, Pasal 18 Ayat 4 UUD sudah menyatakan bahwa gubernur, wali kota, dan bupati dipilih secara demorkatis melalui pemilihan oleh rakyat.
Kedua, Feri menjelaskan sikap pemerintah membingungkan dalam RUU DKJ.
Baca juga: Hamdan Zoelva Pastikan Anies-Muhaimin akan Batalkan RUU DKJ Jika Menang di Pilpres 2024