Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim bidang hukum Polda Metro Jaya meminta penjelasan ahli perihal dimasukannya barang bukti kasus korupsi lain dalam sidang praperadilan Firli Bahuri terkait kasus pemerasan Syahrul Yasin Limpo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Adapun barang bukti yang dimaksud yakni perihal kasus korupsi yang menjerat Muhammad Suryo di lingkungan Dirjen Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang saat ini ditangani KPK.
Kepala Bidang Hukum (Kabidkum) Polda Metro Jaya Kombes Putu Putera Sadan pun mengaku heran, kenapa kubu Firli justru memasukan barang bukti kasus M. Suryo saat proses sidang gugatan penetapan tersangka Firli di kasus pemerasan SYL.
Sebab menurutnya antara barang bukti kasus M. Suryo dengan praperadilan Firli tak ada kaitannya sama sekali dan dianggap keluar salah satu petitum Firli yakni terkait penetapan tersangka yang tidak sah.
Alhasil Putu pun meminta penjelasan ahli dalam hal ini Fachrizal Affandi selaku ahli hukum pidana yang pihaknya hadirkan dalam sidang praperadilan hari ini, Jum'at (15/12/2023).
"Singkatnya UU Tipikor tapi kok pemohon ini menyerahkan barang bukti yang tidak ada korelasinya, saya bingung ini. Jadi apakah ini melanggar aturan secara hukum negara. Kami mohon perspektif hukumnya dari ahli?" tanya Putu di ruang sidang.
Mendapat pertanyaan itu, lalu Fahcrizal mengawali pernyataanya terkait dalam bentuk apa barang bukti yang diserahkan kubu Firli dalam sidang praperadilan tersebut.
Apakah barang bukti itu bersifat umum dan dapat diakses luas oleh publik dari berbagai sumber atau sebagainya atau dalam data base di KPK hal itu bisa diakses secara luas.
"Tapi kalau alat bukti yang diungkapkan di persidangan itu orang umum saja sulit mendapatkannya kecuali ada petisi begitu ya, maka itu harus dilihat relevansinya," sebut Fachrizal.
Pasalnya lanjut Fachrizal, dalam aturan di Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dalam pasal 17 disebutka bahwa terdapat aturan mengenai badan negara wajib merahasiakan setiap informasi terkait proses penegakkan hukum.
Terlebih sebut Fachrizal jika informasi penegakkan hukum yang bersifat rahasia itu bisa terbuka di publik maka hal itu berpotensi menghambat proses penyelidikan dan penyidikan yang tengah berlangsung.
"Kemudian mengungkap identitas informan, pelapor, saksi, dan orang yang tahu tentang tindak pidana tersebut. Atau misalkan mengungkap data intelijen kriminal, data intelijen yang terkait dengan pencegahan dan penanganan tindak pidana," ucapnya.
Adapun mengenai konsekuensi apabila informasi rahasia itu diperoleh secara ilegal dan kemudian tersebar ke publik, Fachrizal menjelaskan bahwa dalam Pasal 54 UU KIP penyebar informasi itu bisa dituntut dengan hukuman paling lama 2 tahun penjara dan denda 10 juta.