Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Asep Saepudin Jahar menyayangkan pernyataan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo terkait penghentian kasus e-KTP yang terkesan diintervensi oleh Presiden Joko Widodo.
"Info ini yang sulit dijelaskan saat menjelang kontestasi Pemilu. Jikapun iya, mestinya hal itu diungkapkan pada masa itu. Saya berpikir KPK itu dari awal dibuat independen dan tidak ada yang bisa intervensi," kata Prof Asep.
Dia berpandangan alangkah baiknya jika Agus Rahardjo menyampaikan pada kejadian, bukan pada saat sekarang ini yang akhirnya menimbulkan polemik.
Baca juga: Sebut Jokowi Minta Hentikan Kasus Korupsi e-KTP, Eks Ketua KPK Agus Rahardjo Diadukan ke Bareskrim
"Pak Agus seharusnya merespon saat itu, karena kalau disampaikan beberapa tahun hingga sekarang malah polemik baru," sambung sang Profesor.
Secara etik dan moril pernyataan Agus Rahardjo dipandang memiliki tendensi disaat menjelang Pemilu seperti sekarang dan tidak mengikuti tata aturan yang ada.
"Pernyataan itu dilihat dari bahasa komunikasi tendensius. Artinya mengapa dia menyampaikannya sekarang. Dan sebagai pejabat KPK jika disampaikan pengaruh oleh siapapun harus tetap pendiriannya. Jika disampaikan sekarang maknanya macam-macam. Keterbukaan itu ada rule of gamenya," jelas Asep Saepudin.
"Bagi saya momennya tidak tepat, karena terkesan ingin menstigmasi pihak lain dan memposisikan diri lebih baik. Memang yang paling penting kenapa urusan KPK yang sangat strategis diungkap ke publik sekarang. Apalagi tanpa bukti atau saksi bisa macam-macam tujuannya," jawab Prof Asep menutup pernyataannya.
Sebelumnya, mantan Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, dirinya pernah meminta diminta oleh Presiden Jokowi untuk menghentikan penyidikan kasus korupsi e-KTP yang menyeret Ketua DPR saat itu, Setya Novanto.
Di tayangan televisi program Rosi, Agus Rahardjo mengaku pernah dipanggil dan diminta Jokowi untuk menghentikan penanganan kasus e-KTP yang menjerat Setya Novanto.
Baca juga: KPK Bisa Berikan Bantuan Hukum ke Agus Rahardjo, Asalkan. . .
Setya Novanto yang saat itu menjabat Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar dimumkan menjadi tersangka oleh KPK pada Jumat, 10 November 2017.
"Saya terus terang pada waktu kasus e-KTP, saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani Pak Pratikno (Menteri Sekretariat Negara). Jadi, saya heran 'biasanya manggil (pimpinan KPK) berlima ini kok sendirian'. Dan dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan tapi lewat masjid kecil," kata Agus dalam dikutip dari YouTube Kompas TV, Jumat (1/12/2023).
Agus Rahardjo mengaku begitu dirinya masuk istana, Jokowi sudah marah.
"Itu di sana begitu saya masuk presiden sudah marah, menginginkan, karena begitu saya masuk beliau sudah teriak 'hentikan'. Kan saya heran yang dihentikan apanya. Setelah saya duduk saya baru tahu kalau yang suruh dihentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov, Ketua DPR waktu itu mempunyai kasus e-KTP supaya tidak diteruskan," ujarnya.
Namun, Agus tidak menjalankan perintah itu dengan alasan sprindik sudah ditandatangani pimpinan KPK tiga minggu sebelum pertemuan tersebut.
Baca juga: Istana Nilai Ada Motif di Balik Pernyataan Agus Rahardjo Soal Intervensi Jokowi dalam Kasus e-KTP
Wakil Ketua KPK 2015-2019 dan 2019-2024 Alexander Marwata, turut membenarkan cerita Ketua KPK 2015-2019, Agus Rahardjo, di stasiun televisi swasta.
Agus Rahardjo sebelumnya bercerita bahwa dirinya dimarahi Presiden Joko Widodo karena tidak menghentikan perkara korupsi e-KTP yang menjerat Ketua DPR kala itu, Setya Novanto atau Setnov.
"Ya Pak Agus pernah bercerita kejadian itu ke pimpinan," kata Alex, sapaan Alexander, saat dikonfirmasi, Jumat (1/12/2023).
Atas pernyataan Agus Rahardjo ini, Presiden Joko Widodo mengaku tidak pernah bertemu Agus Rahardjo Ketua KPK saat itu membahas penghentian kasus E-KTP.
"Saya suruh cek saya sehari kan berapa puluh pertemuan. Saya suruh cek di Setneg (Sekretariat Negara) enggak ada. Agenda yang di Setneg enggak ada tolong di cek lagi aja," kata Jokowi di Halaman Istana Merdeka, Jakarta, Senin (4/12/2023).
Menurut Jokowi, saat itu dia meminta kasus E-KTP ditangani dengan baik. Terbukti penanganan kasus e-KTP berjalan sebagaimana mestinya.
Setya Novanto dihukum 15 tahun penjara karena terbukti korupsi.
"Ini yang pertama coba dilihat, dilihat di berita tahun 2017 di bulan November saya sampaikan saat itu Pak Novanto. Pak Setya Novanto ikuti proses hukum yang ada, jelas berita itu ada semuanya," kata dia.