Betapa dahsyat tsunami 2004 dapat tergambarkan dari berpindahnya kapal Apung sebesar 2.600 ton yang awalnya terparkir di pelabuhan Ulee Lheue.
Kapal tersebut berpindah ke pusat perumahan warga di Punge Blang Cut, Banda Aceh dengan jarak sekitar 5 kilometer dari tempat asalnya dan kini dijadikan salah satu situs tsunami.
Tak hanya itu, mesin cetak PT Serambi Prima Grafika yang mencetak Harian Serambi Indonesia di kawasan Baet, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar mengalami hal yang sama.
Mesin cetak dengan bobot puluhan ton itu, tercabut dari dudukannya dan terpental sejauh 50 meter akibat terjangan tsunami.
Masih mengutip buku Tsunami Aceh Getarkan Dunia (2006) pada bagian yang ditulis oleh Jurnalis Senior Serambi Indonesia Yarmen Dinamika, tiga bulan pertama pascatsunami, hampir semua pengungsi tinggal di tenda.
Ada juga yang menumpang di tempat famili yang rumahnya kebetulan tidak rusak pascabencana amat dahsyat itu.
Mereka diberi bekal oleh pemerintah berupa uang lauk pauk (dana jadup) sebesar Rp 3.000 ribu per jiwa/hari.
Selain itu, World Food Program (WFP) bekerja sama dengan pemerintah Indonesia menyalurkan bantuan logistik berupa beras, minyak makan, mie instan, sarden, biskuit dan susu kepada pengungsi.
Pemberian bantuan tersebut berlangsung selama lebih dari setahun sampai mereka kembali ke rumah bantuan dan hidup secara mandiri.
Hikmah yang Dapat Diambil dari Gempa dan Tsunami Aceh 2024
Salah satu hikmah terbesar dari gempa dan tsunami Aceh 2004 adalah damainya antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah RI.
Bencana seolah jadi pendamai dari dua pihak yang bertikai usai konflik berkepanjangan di Aceh sejak 1976 atau hampir tiga 30 tahun lamanya.
Kesepakatan damai ditandai dengan MoU Helsinki yang diteken pada 15 Agustus 2005 dengan memberikan sejumlah keistimewaan pada Aceh hingga saat ini.
Kemudian pascatsunami, sejumlah tokoh dunia berduyun-duyun datang ke Aceh.