TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Putu Rusta Adijaya berpendapat kenaikan harga beras di mayoritas daerah di Indonesia faktor keterbatasan produksi.
Menurutnya, minimnya produksi beras di dalam negeri disebabkan perubahan iklim serta penyakit dan hama.
“Kenaikan harga beras di Indonesia itu disebabkan oleh beberapa hal faktor utamanya adalah fenomena iklim El Nino yang semakin diperburuk dengan pendidihan global. Hal ini menyebabkan kekeringan esktrem sehingga petani di daerah penghasil beras gagal panen,” kata Putu, Kamis (22/2/2024).
“Perubahan iklim yang terakselerasi juga memperparah curah hujan sehingga padi tergenang dan mati. Hal ini membuat produksi padi berkurang dan mengurangi suplai di pasar,” paparnya.
Putu menegaskan kenaikan harga beras adalah hasil dari kurangnya ketersediaan beras untuk memenuhi permintaan beras.
“Penyakit dan hama yang menyerang tanaman padi menyebabkan rusaknya tanaman padi, gagal panen, yang berujung pada berkurangnya kuantitas produksi beras,” tambah dia.
Permasalahannya mayarakat Indonesia masih sangat tergantung dengan beras sebagai bahan pokok.
Demand beras yang tinggi ini tidak bisa terpenuhi oleh ketersediaan yang ada.
Alhasil, shortage beras membuat harga beras makin mahal, karena kuantitasnya sedikit di pasar.
“Walaupun mahal, masyarakat juga tetap membelinya karena sangat bergantung pada beras karena masyarakat sangat butuh, ada potensi penjual bisa mark-up harga,” jelasnya.
Putu juga menilai bahwa dampak restriksi ekspor beras India juga memengaruhi ketersediaan beras dalam negeri.
“Waktu India banned export beras beberapa waktu lalu, kuantitas beras global menurun karena ini. Mau tidak mau dampaknya juga dirasakan oleh Indonesia.
Memang persentase impor beras Indonesia dari India sedikit, tapi setelah ada ban tersebut, hal ini ikut mengurangi ketersediaan beras dalam negeri.
“Karena susah impor dari India, kita diversifikasi pasar impor ke Thailand dan Pakistan,” ujarnya.