TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum DPN Peradi Otto Hasibuan memastikan Ujian Profesi Advokat (UPA) yang digelar DPN Peradi zero Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Menurut dia, upaya menerapkan zero KKN di UPA untuk menjaga kualitas advokat serta melahirkan advokat-advokat andal, profesional, dan berintegritas.
“Sejak dari dulu, ujian ini betul-betul dilaksanakan dengan zero KKN, bahkan kita menyerahkankan kepada outsourcing untuk menyelenggarakan ujian ini,” kata dia dalam keterangannya pada Sabtu 29 Juni 2024.
Pernyataan itu disampaikan saat meninjau pelaksanaan UPA Peradi di Untar, Jakarta.
Sebanyak 3.065 orang calon advokat mengikuti UPA yang digelar DPN Peradi secara serentak di 41 kota di Indonesia, termasuk Jakarta pada Sabtu, 29 Juni 2024
"Dominan peserta di Jakarta, hampir 1 ribu. Jadi 35 persen di Jakarta. Ini kami lakukan 2 kali setahun. Rata-rata yang ikut ujian itu 6-7 ribu,” kata dia.
Ia menjelaskan, menggelar UPA di puluhan kota demi memudahkan para calon advokat Peradi untuk mengikuti ujian. Mereka tidak perlu datang ke Jakarta yang memerlukan biaya dan waktu.
“Kita yang menurunkan tim ke sana,” ujarnya.
Peradi, lanjut Otto, dalam UPA ini hanya sebagai observer dari pihak penyelenggara UPA, bukan mengawasi peserta ujiannya.
Para calon advokat ini diharapkan bisa lulus UPA meski Peradi menerapkan standar yang cukup tinggi.
Terlebih lagi, ujar Otto, Peradi melalui semua DPC telah melaksanakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) hingga tryout untuk membekali mereka tentang standar yang perlu dipenuhi jika ingin menjadi advokat Peradi.
“Dengan adanya pendidikan profesi advokat yang kita lakukan secara konsisten, dosen-dosen yang mumpuni, praktisi-praktisi yang ahli di bidangnya, mudah-mudahan mereka bisa lulus ujian, menjadi advokat-advokat andal,” ujarnya.
Lebih lanjut Prof. Otto yang didampingi sejumlah pejabat DPN Peradi, menyampaikan, pihaknya juga sangat menekankan materi kode etik dalam PKPA dan UPA karena untuk menjadi advokat Peradi harus mempunyai perilaku yang baik.
“Kami memprioritaskan juga kode etik. Kode etik ini kurikulumnya kita perbanyak, karena kita berpikir, apa gunanya dia pintar kalau dia tidak punya etika yang baik dan jujur dalam berpaktik,” katanya.