"Kenapa business confidence kita rendah dibanding negara peers? Sebab kita belum bisa keluar dari berbagai problema struktural (ekonomi biaya tinggi, ketidakpastian kebijakan, rentang birokrasi yang berbelit, tenaga kerja skil rendah, menurunnya demokrasi, dan persepsi korupsi, dan lain-lain)," ucap Said.
Padahal, kata Said, dengan konfidensi bisnis yang sangat baik, akan menjadi modal bagi pemerintah dan BI mengelola kebijakan makro, terutama suku bunga dan nilai tukar.
Di sisi lain, dia mengungkapkan bahwa mencermati laporan realisasi semester 1 tahun 2024, pendapatan negara mencapai Rp 1.320,7 triliun atau 47 persen dari target APBN 2024.
Said menegaskan, capaian ini cukup meyakinkan untuk mencapai target hingga akhir tahun.
Hanya saja, pemerintah perlu mewaspadai realisasi penerimaan perpajakan lebih rendah dibanding periode yang sama di tahun lalu.
"Penerimaan perpajakan mencapai Rp 1.028 triliun atau hanya 44,5 persen dari target, padahal semester 1 tahun 2023 mencapai 56,4 persen," ucap Said.
Said mengungkapkan, pada semester 1 tahun 2024, realisasi belanja negara mencapai Rp 1.398 triliun atau 42 persen dari target APBN 2024.
"Pimpinan Banggar DPR mengapresiasi kedisiplinan bendahara negara dalam mengelola belanja negara, setidaknya akselaratif dengan realisasi pendapatan negara di tahun berjalan," ungkapnya.
Said pun meminta pemerintah berhati-hati, sebab prognosis defisit APBN lebih besar dari target APBN 2024.
Dia menjelaskan, UU APBN 2024 merencanakan defisit sebesar 2,29 persen PDB atau Rp 522,8 triliun.
Namun, prognosis defisit hingga akhir tahun berpotensi mencapai 2,7 persen PDB setara Rp 609,7 triliun.
"Hal ini terjadi lantaran potensi pembengkakan belanja negara dari rencana Rp 3.325,1 menjadi Rp 3.412,2 triliun," imbuhnya.