Reformasi 1998, tumbangnya rezim Soeharto, akhirnya memberi jalan pulang bagi Abdullah Sungkar, Abu Bakar Basyir, dan murid-muridnya di Malaysia dan berbagai tempat.
Kepulangan kedua tokoh ini pada mulanya tidak menimbulkan efek apa-apa hingga pada 1999, Abdullah Sungkar meninggal mendadak di Bogor, saat kepulangannya kali kedua dari Malaysia.
Sesudah itu terjadi sejumlah dinamika yang secara drastis akan mengubah situasi sosial politik dan stabilitas keamanan nasional.
Sidang Istimewa MPR 1999 diwarnai pecahnya konflik horisontal dan vertikal di Jakarta. Kerusuhan meledak di Jakarta.
Pamswakarsa yang dibentuk kelompok politik tertentu bentrok dengan mahasiswa dan masyarakat.
Pendemo Sidang Istimewa MPR juga direpresi aparat keamanan.
Bentrokan di Jalan Ketapang, Jakarta Pusat pada 21-22 November 1998, merenggut banyak korban jiwa, mayoritas warga asal Maluku.
Konflik politik bergerak menjadi konflik etnis dan bernuansa agama sejak 19 Januari 1999 di Ambon, lalu merembet ke berbagai wilayah.
Inilah titik awal yang nantinya akan meledakkan konflik horizontal yang membakar Maluku, Maluku Utara, lalu Poso.
Jamaah Islamiyah termasuk yang terpanggil ikut terjun ke konfik Ambon dan Maluku. Di tahun yang sama, konflik juga masih mendera Filipina Selatan.
Masih di tahun yang sama, tahun 2000, Abu Bakar Baasyir yang dulu bersama Abdullah Sungkar di Malaysia, sepulang di Indonesia mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia (MII) dan jadi pemimpin pertamanya.
Abu Bakar Baasyir telah bersimpang jalan dengan Jamaah Islamiyah yang diteruskan murid-murid loyal almarhum Abdullah Sungkar.
Pada 1 Agustus 2000, bom mobil meledak dahsyat di depan rumah Dubes Filipina di Menteng, Jakarta, menewaskan dua warga Indonesia.
Duta Besar Filipina Leonides Caday dirawat di rumah sakit karena cedera di kepala dan tangan. Kelak akan diketahui pelakunya Fathurahman Al Ghozi, kader dan rekrutan Jamaah Islamiyah.
Di akhir tahun, tepatnya malam Natal 2000, atau 24 Desember 2000 malam, bom berledakan hebat dari berbagai lokasi di Pulau Sumatera hingga Nusa Tenggara Barat.
Kelak di kemudian hari terungkap aksi pengeboman massal ini diinisiasi dan dikendalikan kelompok Encep Nurjaman alias Enjang Nurjaman alias Hambali alias Ridwan Ishomudin.
Hambali tahun 1985 pernah di Afghanistan, dan selanjutnya turut mendidik mujahidin asal Indonesia di kamp kemiliteran di perbatasan Pakistan-Afghanistan.
Selain Hambali, aksi pengeboman massal malam Natal 2000 dilakukan Muklas alias Ali Ghufron, Abdul Azis alias Imam Samudra alias Qodama, dan puluhan orang yang berhubungan dengan orang-orang ini.
Nama-nama mereka kelak kemudian diketahui bersimpul dengan apa yang pernah dibangun almarhum Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir di madrasah Luqmanul Hakim, Johor Bahru, Malaysia.
Pada 11 September 2001, empat kelompok penyerang Al Qaeda membajak empat pesawat komersial yang dua di antaranya ditabrakkan ke Menara kembar World Trade Center di New York.
Satu lain menghantam Pentagon, dan satu pesawat lagi jatuh di lapangan dekat Shanksville, Pennsylvania, gagal mencapai target di Washington DC.
Peristiwa 11 September 2001 ini memicu kemarahan Amerika Serikat, yang sebulan kemudian menggempur Afghanistan diikuti pengiriman pasukan militer.
Pemimpin Al Qaeda Syekh Usamah bin Ladin atau Osama bin Laden, menyerukan perang total melawan apa yang disebutnya orang-orang kafir.
Fatwa Osama bin Laden ini memanggang kemarangan banyak orang dan kelompok, termasuk jaringan para pelaku bom massal malam Natal 2000.
Setahun setelah pasukan Amerika Serikat menyerbu Afghanistan, pada 12 Oktober 2002, bom super dahsyat meledak di Kuta dan Legian, Denpasar, Bali.
Kelak kemudian diketahui pengeboman diorkestrasi Ali Ghufron alias Muklas, Abdul Azis alias Imam Samudra, Ali Imron, Dr Azhari Nurdin dan Noordin M Top, keduanya warga Malaysia.
Sekali lagi kelompok ini tersimpul dengan kegiatan yang pernah difasilitasi almarhum Abdullah Sungkar semasa memimpin Jamaah Islamiyah di Malaysia.
Setelah bom Bali 12 Oktober 2002, penangkapan para pelakunya tak menyurutkan jaringan yang tersisa, yang melanjutkan seri teror dan kekerasan di tahun-tahun selanjutnya.
Jemaah Islamiyah terus disangkutpautkan dengan berbagai aksi terorisme yang dilakukan individu-individu yang berkelompok, dan mereka umumnya direkrut dan dididik kader jamaah ini.
Tak terbilang lagi pengungkapan dan penangkapan para pelaku kekerasan bersenjata oleh aparat keamanan, yang ujung-ujungnya selalu tersimpul dengan jaringan Jamaah Islamiyah.
Juga ada yang bersinggungan dengan MMI, dan lalu belakangan muncul Jamaah Anshorut Daulah (JAD), Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), Majelis Mujahidin Indonesia Timur (MMIT), dan lain-lainnya.
Pada 9 Juni 2007, Ustad Zarkasyi atau Zarkasih alias Abu Irsyad alias Zahroni ditangkap pasukan Polri di Yogyakarta.
Sebelumnya aparat menciduk Ainul Bahri alias Abu Dujana alias Pak Guru di Kebumen.
Keduanya disebut tokoh penting Jamaah Islamiyah.
Zarkasyi diyakini pemimpin sementara Jamaah Islamiyah saat tokoh pengganti Abdulah Sungkar yaitu Abu Rusdan di dalam penjara.
Sementara Abu Dujana disebut sebagai Panglima Askari atau pemimpin pasukan Jamaah Islamiyah.
Keduanya menjalani proses hukum hingga divonis pada 21 April 2010.
Zarkasih diganjar hukuman 15 tahun penjara, sama dengan Abu Dujana.
Poin menentukan di vonis kedua tokoh ini, pengadilan menyatakan Jemaah Islamiyah merupakan "korporasi yang terlarang".
Inilah awal dari masa survival hingga dialektika para elite Jamaah Islamiyah sebagai organisasi berikut jaringannya, yang ternyata memerlukan waktu 14 tahun untuk sampai pada titik balik bubar atau membubarkan diri.
Deklarasi bubarnya Jamaah Islamiyah dinyatakan pada 30 Juni 2024 di Hotel Lor In Sentul Bogor, didahului pertemuan kajian atau semacam batshul masail sehari sebelumnya di Solo, atau pada 29 Juni 2024.
Semua sesepuh Jamaah Islamiyah yang aktif maupun tidak aktif, para tokoh senior jamaah dari berbagai bidang urusan hadir dan bersepakat bulat dengan hasil evaluasinya.
Hasil pertemuan Solo dibawa ke Sentul, yang kali ini pertemuan diberi judul Forum Silaturahmi Pondok Pesantren Jamaah Islamiyah.
Tokoh-tokoh sentral Jamaah Islamiyah, termasuk Abu Rusdan, Para Wijayanto, Arif Siswanto, Abu Fatih, Abu Dujana, dan lain-lain hadir memberi pendapat, pandangan, dan dukungan.
Akhirnya pertemuan yang diawali menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, diakhiri pembacaan deklarasi Jamaah Islamiyah menyatakan diri bubar oleh Ustad Abu Rusdan alias Thoriquddin alias Hamzah.
Inilah akhir kisah perjalanan Al Jamaah Al Islamiyah sebagai organisasi yang didirikan almarhum Abdullah bin Ahmad Sungkar dan Abu Bakar Baasyir serta beberapa tokoh lain, 31 tahun lalu di Malaysia. (Tribun Network/Setya Krisna Sumarga)