Tentu difasilitasi oleh senior-senior JI yang sudah terjalin dan menjalin komunikasi dengan aparat keamanan.
Kemudian hal terpenting berikutnya, karena JI ini dulu berafiliasi dengan banyak pesantren, julamhya lebih dari 40 dan santrinya bisa sampai 16 ribu, mereka bersedia kurikulumnya dievaluasi.
Ini serius dan sekali lagi meyakinkan keputusan itu bukan gimmick.
Kemenag juga langsung merespon sikap ini, dan langsung mengirimkan pejabat yang membidangi ini untuk berdialog.
Tentu ini sejalan dengan apa yang saya dengar dari para tokoh utama JI, seperti Ustad Para Wijayanto dan Ustad Siswanto.
Mereka menegaskan pada dasarnya JI tidak dirancang sebagai gerakan melawan negara (Indonesia). Ini bukan organisasi yang anti terhadap negara.
Dua kunci utama JI adalah ilmu dan jihad. Setidaknya ini yang disampaikan para petinggi terakhir Jamaah Islamiyah.
Menurut Ustaz Para Wijayanto, mungkin ada kelompok yang kuat ilmu tapi jihadnya tidak punya. Ada yang kuat jihad, tapi ilmunya tidak ada.
Mengenai peran dan keterlibatan JI sebagai organisasi dalam berbagai aksis teror di Indonesia, kita mungkin bisa melihat di berbagai persidangan dan putusan pengadilan.
Sejauh ini secara formal, sebagai organisasi JI tidak atau belum pernah terbukti terlibat. Misal merancang, mendukung, dan atau memerintahkan pengeboman di mana begitu.
Tapi bahwa dalam berbagai kasus, ada orang-orang JI atau setidaknya pernah jadi anggota JI, itu realitas dan fakta yang tidak bisa dibantah.
Tokoh-tokoh JI pun menyadari realitas ini. Menurut mereka ada dua hal yang terjadi.
Para pelaku itu telah melepas baiat dari JI, atau bertindak di luar kendali pimpinan.
Nah, dalam konteks inilah pada akhirnya saya melihat tokoh-tokoh senior JI ini menanggung beban karena bagaimanapun mereka lah yang dulu membentuk, merekrut, dan membimbing orang-orang itu.(Tribun Network/Setya Krisna Sumarga)