Namun Majelis Hakim memerintahkan untuk meneruskan, sebab dalam hal ini jaksa dianggap hendak menggali pengurusan perkara yang dilakukan Gazalba Saleh melalui kakaknya.
"Ijin Yang Mulia, ini kami kebingungan mengikuti penuntut umum karena dari tadi kami lihat dakwaannya, bagian mana dakwaan maksudnya yang ditanyakan kepada para saksi, Yang Mulia?" tanya penasihat hukm Gazalba Saleh, Aldres Napitupulu.
"Gini loh, jadi mungkin pertanyaan penuntut umum itu, kaitannya apakah kakaknya terdakwa Gazalba Saleh ini sering ngurus-ngurus perkara. Gitu kira-kira," ujar Hakim Ketua, Fahzal Hendri.
Sebagai informasi, dalam perkara ini Gazalba Saleh dijerat terkait penerimaan gratifikasi 18.000 dolar Singapura dari pihak berperkara, Jawahirul Fuad.
Jawahirul Fuad sendiri diketahui menggunakan jasa bantuan hukum Ahmad Riyad sebagai pengacara.
Selain itu, Gazalba Saleh juga didakwa menerima SGD 1.128.000, USD 181.100, dan Rp 9.429.600.000 dari pengurusan perkara-perkara lainnya.
Jika ditotalkan, maka nilai penerimaan gratifikasi dan TPPU yang dilakukan Gazalba Saleh senilai Rp 25.914.133.305 (Dua puluh lima miliar lebih).
Penerimaan uang tersebut terkait dengan pengurusan perkara di lingkungan Mahkamah Agung.
"Bahwa terdakwa sebagai Hakim Agung Mahkamah Agung RI, dari tahun 2020 sampai dengan tahun 2022, telah menerima gratifikasi sebesar 18.000 dolar Singapura sebagaimana dakwaan kesatu dan penerimaan lain berupa 1.128.000 dolar Singapura, 181.100 dolar Amerika serta Rp 9.429.600.000,00," kata jaksa KPK dalam dakwaannya.
Akibat perbuatannya, dia dijerat Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kemudian Hakim Agung itu juga diduga menyamarkan hasil tindak pidana korupsinya, sehingga turut dijerat tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Dalam dakwaan TPPU, Gazalba Saleh dijerat Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.