Pertemuan itu dimaksudkan untuk membahas ketentuan dari PT Timah agar sejumlah perusahaan smelter swasta menyerahkan lima persen dari kuota ekspor timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah.
Kedua, Harvey Moeis disebut telah mengkoordinir biaya pengamanan tambang ilegal sebesar USD 500 sampai USD 750 per ton.
Uang itu dikumpulkan Harvey Moeis dari lima perusahaan smelter swasta, yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa.
Setoran uang dari lima perusahaan tersebut dicatat seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR).
Ketiga, Harvey Moeis diduga menginisiasi kerja sama penyewaan alat processing untuk pengolahan logam timah antara PT Timah dengan perusahaan-perusahaan smelter swasta.
Padahal, lima perusahaan itu tidak memiliki competent person (CP) sebagaimana ketentuan yang berlaku.
Keempat, Harvey Moeis diduga bernegosiasi dengan PT Timah untuk kesepakatan harga sewa smelter tanpa didahului feasibility study atau studi kelayakan yang memadai.
Kelima, Harvey Moeis bersama perwakilan perusahaan-perusahaan swasta bersepakat dengan PT Timah untuk menerbitkan surat perintah kerja (SPK) di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah dengan tujuan melegalkan pembelian bijih timah oleh pihak smelter swasta yang berasal dari penambangan ilegal di IUP PT Timah Tbk.
Keenam, Harvey Moeis dan perusahaan swasta diduga membeli bijih timah dari penambang timah ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Pembelian bijih timah itu dilakukan dalam rangka kerja sama sewa peralatan processing pengolahan logam timah.
Sebab kerja sama itu tidak tertuang di dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) PT Timah maupun perusahaan-perusahaan smelter swasta.
Ketujuh, dari hasil negosiasi sebelumnya dengan petinggi PT Timah, akhirnya terjadi kesepakatan terkait harga sewa peralatan processing penglogaman timah.
Namun kesepakatan harga itu dilakukan tanpa adanya kajian yang baik.
Bahkan feasibility study ini dibuat backdate alias dimundurkan tanggalnya.