Sehingga, kata dia, bila dilihat dari rekam jejaknya Ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah kerap terlibat dalam advokasi korban-korban terdampak tambang.
"Kalau bicara rekam jejak, baik NU Muhammadiyah atau bahkan banyak sekali ormas keagamaan, itu terlibat aktif dalam banyak advokasi terhadap korban-korban Tambang," kata dia.
Perwakilan Kuasa Hukum dari Integrity Law Firm Muhamad Raziv Barokah mengungkapkan sejumlah alasan permohonan judicial review.
Alasan tersebut di antaranya karena terdapat beberapa undang-undang (UU) yang dinilai bertentangan dengan PP tersebut.
Raziv mengungkapkan setidaknya terdapat empat UU yang bertentangan dengan PP tersebut.
Empat UU itu, kata dia, adalah UU Minerba, UU Pembentukan peraturan perundang-undangan, UU Organisasi Kemasyarakatan, dan UU HAM.
"UU Minerba ini kan jelas bahwa hak prioritas dalam izin pertambangan itu diberikan kepada BUMN. Itu pun juga sebetulnya kan problematik. Dan itu lahir dari berbagai putusan MK," kata Raziv.
"Jadi tiba-tiba pemerintah membuat hak prioritas baru dalam dasar hukum yang levelnya lebih rendah dari UU, tiba-tiba diberikan kepada Ormas Keagamaan, ini kan sama sekali pemberian yang tanpa dasar, tanpa didasari dengan kerangka hukum, dan kerangka logis yang benar," sambung dia.
Terkait UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, kata dia, pembentukan PP tersebut sangat minim dengan partisipasi publik yang bermakna.
Selain itu, kata dia, tidak ada kajian yang jelas.
"Ini semakin memperkuat dugaan bahwa (PP) ini hanya sebatas alat transaksi saja," kata dia.
Selain itu, PP tersebut juga dinilai bertentangan dengan UU Ormas karena menurutnya tidak ada satu pun tujuan organisasi kemasyarakatan untuk melakukan aktivitas pertambangan.
Justru sebaliknya, lanjut dia, salah satu tujuan dari organisasi masyarakat adalah menjaga kelestarian lingkungan.
"Menjaga kelestarian lingkungan itu adalah suatu hal yang bertolak belakang dengan kegiatan pertambangan," kata dia.