News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Dihalangi Sampaikan Aspirasi Batalkan Pelantikan Gibran, TPDI Protes Pimpinan MPR

Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Muhammad Zulfikar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sejumlah advokat yang tergabung dalam Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara, Kamis (10/10/2024), mendatangi Kompleks MPR/DPR/DPD RI di Senayan, Jakarta.

"Kami lalu berpikir, daripada debat kusir dengan Pamdal dan polisi yang habitatnya memang hanya melaksanakan perintah, maka kami memutuskan untuk menyerahkan surat aspirasi masyarakat itu lewat seorang staf DPD di emperan trotoar gerbang belakang Gedung MPR/DPR/DPD, dan itulah yang terjadi di hadapan puluhan anggota Pamdal dan Polri," lanjutnya. 

Kedatangan puluhan anggota Polri dengan sepeda motor, kata Petrus, langsung mengambil posisi  berjejer menutup jalan arah masuk ke Gedung MPR/DPR/DPD, konon mereka diinformasikan akan ada demonstrasi dari TPDI dan Perekat Nusantara.

"Padahal kami hanya enam orang," ucap Petrus sambil menyebut lima nama selain dirinya, yakni Erick S Paat, Jemmy Mokolensang, Posma GP Siahaan, Frans R Delong, dan Ricky D Moningka. 

"Itu pun pihak kami sudah mengirim surat pemberitahuan ke pihak MPR/DPD sehari sebelumnya bahwa kami akan datang ke Wakil Ketua MPR dari unsur DPD, menyampaikan aspirasi pada hari Kamis pukul 13.00 WIB," tuturnya. 

Baca juga: Pimpinan MPR Minta Calon Kepala Daerah Fokus Adu Ide dan Gagasan, Hindari Politik Identitas

Wajah Baru MPR 
 
Sikap dan kebijakan penanggung jawab pelayanan tamu masyarakat yang hendak menyampaikan aspirasi, terlebih menjelang sidang MPR, kata Petrus, seharusnya diprioritaskan dan dilayani dengan baik, bukan dengan cara mengadang seakan-akan tamu yang datang ke MPR/DPR/DPD hanya akan membuat kegaduhan.

"Inilah wajah bopeng MPR baru dengan kualitas rendah hasil Pemilu 2024, yang baru 10 hari bekerja tetapi sudah menutup diri dari pertisipasi masyarakat," kritik Petrus. 

Padahal, kata Petrus, agenda TPDI dan Perekat Nusantara ke MPR tidak lain hanya ingin menyampaikan aspirasi dan tuntutan agar MPR mendiskualifikasi dan tidak melantik Gibran sebagai Wapres RI 2024-2029, dan tuntutan itu dibahas pada Sidang MPR, Minggu (20/10/2024), berdasarkan beberapa peristiwa dan fakta-fakta hukum yang telah, sedang dan akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan hingga Hari H pelantikan.

"Semua pihak harus menyadari bahwa MPR adalah pemegang kedaulatan rakyat sekaligus pengemban fungsi representasi rakyat. MPR bukanlah lembaga tukang stempel hasil Pemilu dan juga bukan tukang stempel putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sengketa pilpres, melainkan memiliki kewenangan untuk menyerap aspirasi rakyat guna memberikan penilaian akhir terhadap seluruh tahapan dalam proses demokrasi yang sedang berjalan terkait pemilihan dan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI, termasuk menentukan apakah Presiden dan Wakil Presiden terpilih masih layak dan beralasan hukum untuk dilantik atau tidak," urainya. 

Kejadian Tak Terduga

Menurut Petrus, jedah waktu delapan bulan pasca-Pemilu 14 Februari 2024 hingga 20 Oktober 2024 dimaksudkan oleh para pembentuk UU agar MPR memiliki waktu yang cukup untuk memantau dan mencermati hal-hal buruk apa yang bakal muncul dan apa yang sudah terjadi tetapi belum terungkap, bahkan hal-hal tertentu yang melekat dalam diri capres-cawapres terpilih, namun lolos dari proses seleksi lewat pemilu, lolos dari pantauan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan lolos dari proses pemeriksaan MK, terlebih karena MK memiliki kesempatan dan wewenang yang sangat terbatas dalam pemeriksaan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).

"Hal demikian sangat beralasan, karena bisa saja sejak proses pemilu dan proses sengketa pilpres diputus MK, hingga menjelang pelantikan, terjadi peristiwa dan terdapat fakta hukum yang tersembunyi (kasus akun Fufufafa) atau baru terjadi kemudian, sehingga lolos dari kecermatan instrumen politik dan hukum yang tersedia (seperti KPU, Badan Pengawas Pemilu/Bawaslu, MK dan Pengadilan Tata Usaha Negara/PTUN), yang dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah diantisipasi tentang kemungkinan seorang capres-cawapres terpilih "tidak dilantik" melalui ketentuan Pasal 427 jo Pasal 169 huruf e dan j UU Pemilu. 

TPDI dan Perekat Nusantara kemudian meminta MPR berpikir jernih dan objektif melihat realitas di mana hukum sudah dirusak dan tidak lagi menjadi panglima, terdapat fakta yang "notoire feiten" (sudah umum diketahui) bahwa ketika MK bersidang dalam Perkara No 90/PUU-XXI/ 2023 hingga perkara PHPU No 1 dan 2 PHPU.PRES-XXII/2024 di MK, Hakim-hakim Konstitusi berada dalam keadaan tidak merdeka atau tidak bebas, akibat pengaruh kekuasan eksekutif lewat dinasti politik di MK, suatu kondisi yang sangat paradoks dengan jaminan UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dalam menjalankan tugas. 

Setelah mencermati dan menganalisis sejumlah peristiwa dan fakta hukum yang ditarik mulai dari proses dan tahapan persidangan Perkara No 90/2023, Putusan MKMK No 2, 3, 4 dan 5/MKMK/L/11/2023 dan persidangan Perkara PHPU No 1 dan 2 PHPU.PRES-XXII/2024 di MK, serta peristiwa dan fakta hukum lain yang muncul kemudian (Fufufafa), Petrus berpendapat bahwa proses pencawapresan Gibran dalam Pilpres 2024 melanggar prinsip konstitusi, hukum dan demokrasi, sehingga telah berimplikasi hukum kepada tidak sah dan batalnya pencawapresan mantan Walikota Solo itu. 

Alhasil, TPDI dan Perekat Nusantara menyatakan protes keras kepada Pimpinan MPR, karena membiarkan Pamdal dan Polri bertindak arogan, dan menutup pintu bagi masyarakat yang hendak menyampaikan aspirasi. 

"Selanjutnya kami mendesak agar MPR segera membuka ruang dialog dengan masyarakat sesuai dengan tugas dan fungsi MPR antara lain menyerap aspirasi nasyarakat sebelum Sidang MPR 20 Oktober 2024," tandasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini