TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana pembentukan kabinet zaken presiden terpilih Prabowo Subianto, yang diharapkan akan diisi kalangan profesional yang ahli di bidangnya, semakin sulit untuk direalisasikan.
Kabinet zaken adalah konsep di mana menteri-menteri yang diangkat seharusnya berasal dari kalangan non-politisi, yang tidak terikat dengan kepentingan partai, dan hanya fokus pada keahlian serta pengalaman di sektor yang mereka tangani.
"Realitas politik Indonesia tampaknya kembali menantang idealisme ini, dan politik dagang sapi'—istilah populer yang menggambarkan negosiasi politik yang transaksional—mulai terlihat mendominasi komposisi kabinet," kata Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, Rabu (16/10/2024).
Menurutnya, sejak mulai beredar nama-nama calon menteri dan wakil menteri yang dipanggil Prabowo ke kediamannya, terlihat jelas bahwa rencana kabinet zaken tidak akan berjalan sesuai harapan.
Baca juga: Suasana Jelang Pembekalan Calon Menteri Prabowo di Hambalang, Gibran Sapa Awak Media
Dari 49 calon menteri yang dipanggil pada 14 Oktober 2024, sebagian besar berasal dari partai-partai politik besar, seperti Gerindra, PAN, PKB, dan Demokrat
"Ini menunjukkan bahwa janji kabinet zaken lebih terlihat sebagai pura-pura zaken, di mana unsur politikus masih dominan, dan bahkan mengesampingkan profesional yang tidak berafiliasi dengan partai," paparnya.
Ia menyebut, kondisi ini semakin mencolok ketika melihat daftar calon wakil menteri yang dipanggil pada 15 Oktober 2024.
"Fenomena ini mengindikasikan bahwa kabinet Prabowo lebih diarahkan pada akomodasi politik daripada penekanan pada kompetensi teknis," ucapnya.
Politik Dagang Sapi Kembali Terulang
Politik dagang sapi bukanlah hal baru di Indonesia. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan praktik pembagian kekuasaan yang melibatkan negosiasi antara berbagai pihak demi mendapatkan posisi atau pengaruh dalam pemerintahan.
Sejarah politik Indonesia, kata Achmad, khususnya setelah era Reformasi, telah menunjukkan bagaimana koalisi besar hampir selalu berakhir dengan kompromi yang melibatkan berbagai partai politik dalam susunan kabinet.
Setiap partai politik yang berkoalisi berharap mendapatkan jatah kekuasaan dalam bentuk jabatan menteri atau wakil menteri.
Inilah yang menyebabkan munculnya kabinet yang tidak efisien, dengan banyak posisi yang diberikan bukan karena kompetensi tetapi karena kebutuhan politik.
"Kabinet zaken yang diusulkan oleh Prabowo, seharusnya dapat menghindari jebakan ini," kata Achmad.