Namun, pada kenyataannya, Achmad melihat, Prabowo perlu mengakomodasi banyak partai politik yang telah mendukungnya selama kampanye, termasuk PAN, PKB, Demokrat, dan Gerindra sebagai partai utamanya.
"Di sinilah letak paradoks: untuk mempertahankan stabilitas politik, Prabowo harus membagi-bagi posisi kepada partai-partai pendukungnya, meskipun ini berarti mengorbankan tujuan awalnya membentuk kabinet profesional," ujarnya.
"Praktik politik dagang sapi ini mirip dengan apa yang pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960-an, ketika ia membentuk Kabinet Seratus Menteri," sambungnya.
Ia menyampaikan, kabinet tersebut bukan hanya besar dalam jumlah, tetapi juga dipenuhi oleh berbagai golongan politik yang tujuannya adalah untuk menjaga stabilitas politik di tengah-tengah dinamika zaman itu.
Namun, hasilnya adalah pemerintahan yang gemuk dan tidak efektif, karena terlalu banyak kepentingan politik yang harus diakomodasi.
Dengan jumlah kementerian yang berpotensi bertambah akibat kompromi politik, Achmad menyampaikan, anggaran negara pun diperkirakan akan membengkak.
Lebih jauh lagi, hal ini berpotensi menciptakan birokrasi yang lambat, kurang inovatif, dan lebih fokus pada mempertahankan kekuasaan daripada menyelesaikan masalah nyata di masyarakat.
Tantangan ke Depan: Mewujudkan Kabinet yang Efektif
Jika kabinet zaken yang ideal sulit diwujudkan, kata Achmad, maka tantangan bagi Prabowo dan koalisi pendukungnya adalah memastikan kabinet ini tetap efektif dan efisien, meskipun berisi banyak politisi.
Ia menyampaikan, kunci keberhasilan kabinet Prabowo adalah bagaimana ia dapat mengelola kepentingan-kepentingan politik ini tanpa mengorbankan pelayanan publik.
Kolaborasi antara menteri-menteri yang berasal dari kalangan politik dan profesional harus dikelola dengan baik, agar birokrasi tidak terjebak dalam kepentingan partisan.
Ini bisa dilakukan dengan memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil berdasarkan analisis data yang kuat dan kebutuhan masyarakat, bukan sekadar keinginan untuk mempertahankan kekuasaan.
Pada akhirnya, kabinet Prabowo akan diuji oleh kemampuan mereka untuk menghasilkan perubahan nyata bagi masyarakat.
"Jika politik dagang sapi tetap dominan, kabinet ini mungkin akan dikenang sebagai kabinet yang gemuk, lambat, dan tidak mampu membawa Indonesia keluar dari berbagai krisis yang dihadapinya," ucapnya.