News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Korupsi di PT Timah

Sidang Harvey Moeis, Ahli Sebut Masyarakat Dapat Dijerat Pidana Jika Menambang Tanpa Izin

Penulis: Fahmi Ramadhan
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Jaksa Penuntut Umum menghadirkan ahli dalam sidang kasus korupsi tata niaga timah dengan terdakwa Harvey Moeis Cs di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (24/10/2024)

Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Hukum Administrasi Negara Bidang Hukum Lingkungan Hidup, Kartono menyebut masyarakat yang menambang tanpa izin di wilayah Izin Usaha Penambangan (IUP) suatu perusahaan dapat dikenakan pidana.

Kartono menjelaskan hal itu telah diatur dalam Undang-Undang Minerba Pasal 158 tentang pidana bagi pelaku penambangan tanpa izin.

Hal itu Kartono ungkapkan saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai ahli dalam sidang kasus korupsi timah di lingkungan PT Timah Bangka Belitung yang menjerat Harvey Moeis, Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT) dan Direktur Pengembangan Usaha PT RBT Reza Ardiansyah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (24/10/2024).

Pernyataan itu bermula saat Hakim Anggota Jaini Basir menanyakan pandangan Kartono jika terdapat masyarakat yang menambang di perkebunan yang berada di wilayah IUP suatu perusahaan.

"Kadang-kadang kan gini, IUP kan di bawah sedangkan masyarakat hidupnya di atas, itu kan perkebunannya dia, turun menurun hidup di situ. Artinya kan ketika dia gali itu tanah dia?" tanya Hakim.

Baca juga: Bantah Terkait Kasus Timah, Sandra Dewi Jelaskan Perihal Transfer Rp 3,15 Miliar dari Harvey Moeis

"Itu di UU Minerba pasal 158 dijadikan pidana Yang Mulia setiap orang yang menambang tanpa izin dikenakan pidana Yang Mulia," kata Kartono.

Menurut Kartono, jerat pidana bisa diberikan karena masyarakat yang tak memiliki izin menambang berpotensi merusak lingkungan.

Lanjut dia, masyarakat pun tak mempunyai kemampuan hingga teknologi dalam melakukan penambangan.

Selain itu, sektor tambang, kata dia, tidak hanya menyinggung soal sektor ekonomi yang harus memakmurkan masyarakat di sekitarnya, tapi juga harus memikirkan dampak ekologi dari kawasan yang menjadi lokasi tambang.

"Jadi ada hak lingkungan yang harus dipelihara dan UU mengatakan silahkan hak ekonomi diberikan silahkan urus izinnya, agar kepentingan ekologi dan masyarakat bisa dilakukan," kata Kartono.

Baca juga: Sandra Dewi Ternyata Melarang Sang Suami Harvey Moeis Membelikannya Tas Mewah, Alasannya Terkuak

Lebih jauh, ucap Kartono, dalam UU Minerba diatur tentang kewajiban pemulihan lingkungan, kewajiban reklamasi pasca-menambang, dan membayar royalti ke negara.

Karena itu, kata dia, masyarakat yang tak memiliki izin sebaiknya tak menambang di kawasan pertambangan suatu perusahaan.

"Karena ini karunia Tuhan, dan akhirnya banyak petaka, di mana-mana Republik Indonesia ini petaka lingkungan rusak, karena yang menambang ini tidak punya kapasitas, tidak punya teknologi, tidak punya kemampuan Yang Mulia," ucap Kartono.

"Yang terjadi adalah menambang-menambang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah pertambangan yang baik dan ini akan merugikan alam dan untuk anak cucu Yang Mulia," sambungnya.

Sebagai informasi, berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun.

Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.

Kerugian negara yang dimaksud jaksa, di antaranya meliputi kerugian atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah.

Tak hanya itu, jaksa juga mengungkapkan, kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun.

Hal itu sebagaimana hasil hitungan ahli lingkungan hidup.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini