TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terungkapnya kasus dugaan suap mantan pejabat tinggi Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar dalam penanganan kasasi putusan terpidana Ronald Tannur, memperkuat adanya makelar kasus yang bukan hanya bertujuan untuk membebaskan, tetapi juga memidana terdakwa yang yang tidak bersalah.
Dari itu, putusan atas kasasi dan peninjauan kembali (PK) di MA dinilai perlu ditelusuri, dibuka lagi hingga dimungkinkan disidang kembali, untuk mencegah pemberian hukuman kepada pihak tidak bersalah.
Sejumlah akademisi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Undip) juga menyuarakan hal itu juga bisa diterapkan untuk perkara terpidana korupsi mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H Maming, yang kini sedang mengajukan PK ke MA.
Berdasarkan kajian atau anotasi, mereka menilai putusan hakim pengadilan tingkat pertama yang memidana Mardani H Maming dinilai syarat dengan kekeliruan.
Akademisi yang ikut melakukan kajian yakni Retno Saraswati dari sisi Hukum Tata Negara, Yos Johan Utama dari sudut pandang Hukum Administrasi Negara serta pidana. Sementara itu, akademisi Yunanto memfokuskan kajian pada hukum perdata dan Eri Agus Priyono dari sisi hukum perdata.
Berdasarkan kajian, guru besar Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Yos Johan Utama mengkritisi penghukuman yang dijatuhkan hakim terhadap Mardani H Maming terkait pasal yang dijeratkan kepada terdakwa.
Baca juga: Mabes Polri Ungkap Ada Pejabat Kementerian Komdigi Diduga Terlibat Judi Online: Sedang Didalami
Baca juga: Kejagung soal Penetapan Tersangka Tom Lembong: Perkaya Orang Lain dan Korporasi Juga Bisa Dipidana
Ia menyatakan putusan Mardani H Maming selaku Bupati Tanah Bumbu terkait pemindahan IUP dari aspek hukum administrasi adalah sah dan tidak pernah dinyatakan batal oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang merupakan pengadilan berwenang dalam ranah hukum administrasi.
Apalagi ada putusan Pengadilan Niaga yang sudah inkrah dan menyatakan itu murni hubungan bisnis dan bukan merupakan kesepakatan diam-diam.
“Pengadilan Tipikor, yang merupakan pengadilan pidana, tidak memiliki wewenang untuk menilai keabsahan keputusan administrasi tersebut. Oleh karena itu, tidak ada pelanggaran hukum administrasi yang bisa dijadikan dasar pidana, dan terdakwa tidak bisa dipidana,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (31/10/2024).
Menurutnya, majelis hakim pidana diduga khilaf dan keliru karena ketentuan yang dijadikan dasar dituduhkan kepada terpidana yakni pasal 97 ayat 1 undang-undang 4 tahun 2009 tentang pertambangan, mineral dan batubara adalah salah Alamat, karena larangan itu ditujukan hanya untuk pemegang IUP dan IUPK.
Ia pun menegaskan, perizinan tambang itu juga telah melalui kajian di daerah hingga pusat. Bahkan, IUP yang dikeluarkan telah mendapatkan sertifikat clear and clean (CNC) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selama 11 tahun.
Baca juga: Belum Sebulan Bekerja, Pemerintahan Prabowo Telah Tangkap Koruptor dari 7 Kasus Korupsi, Siapa Saja?
Dalam persidangan pengadilan tingkat pertama, diketahui proses peralihan IUP ini juga telah mendapatkan rekomendasi dari kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Tanah Bumbu yang menyatakan bahwa proses tersebut sudah sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku, ditambah paraf dari Sekda, Kabag Hukum, dan Kadistamben.
“Fakta yuridis menunjukkan bukti bahwa Mardani H Maming selaku Bupati dan sekaligus pejabat tata usaha negara mempunyai kewenangan atributif menerbitkan IUP dan IUPK sebagaimana diatur dalam pasal 37 ayat 1 undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan, mineral dan batubara,” ujarnya.
Yos menjelaskan, dalam kasus yang menjerat mantan Ketum BPP HIPMI yang saat itu menjabat sebagai Bupati Tanah Bumbu merupakan orang yang memberikan, bukan yang memegang izin.
Dengan demikian, Yos berpendapat agar putusan hakim tersebut dapat dikaji ulang. Sebab, Mardani H Maming diketahui sebagai pihak yang mengeluarkan izin seharusnya tidak bisa dijerat dengan pidana sebagaimana yang diatur dalam UU tersebut.
Anotasi ini menegaskan, majelis hakim diduga keliru dalam menilai dan mengkonstruksikan transaksi keperdataan yang melibatkan sejumlah perusahaan, seperti PT Prolindo Cipta Nusantara, dan PT Angsana Terminal Utama, sebagai tindakan kamuflase suap.
“Analisis dan kajian anotasi ini mengacu pada fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam putusan terhadap Mardani H. Maming selama ini,” jelas Retno Saraswati yang merupakan Dekan Fakultas Hukum Undip.
Retno menambahkan, tim pengkaji anotasi ini menilai bahwa keputusan majelis hakim terhadap Mardani terkesan terburu-buru dan tidak berlandaskan fakta yang akurat.
“Menurut analisis tim anotasi, tidak ada bukti konkret yang menunjukkan kejanggalan dalam transaksi-transaksi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut,” ujar Retno.
Perkara ini bermula saat KPK menetapkan Mardani H Maming selaku mantan Bupati Tanah Bumbu sebagai tersangka dalam kasus dugaan kasus suap dan gratifikasi senilai Rp 104,3 miliar atas pemberian IUP di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, pada Februari 2024 .
Pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Mardani divonis bersalah dan dihukum pidana penjara selama 10 tahun, serta denda Rp 500 juta. Mardani H Maming juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp110.601.731.752 (Rp110,6 miliar).
Baca juga: Oknum Pejabat Komdigi Dicokok Polisi Terkait Dugaan Judi Online, Pengamat: Hukum Mati Agar Jera
Tak terima atas putusan tersebut, Mardani mengajukkan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Banjarmasin. Pun demikian dengan jaksa KPK. Namun, PT Banjarmasin dalam putusannya menolak banding Mardani H Maming dan memperberat hukumannya menjadi 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
Mardani pun melalui penasihat hukumnya mengajukkan kasasi ke MA. Namun, MA dalam putusannya menolak kasasinya.
Masih tidak puas atas putusan perkaranya, Mardani dan penasihat hukumnya pun rupanya mengajukkan Peninjauan Kembali (PK) putusan kasasi itu ke MA pada 6 Juni 2024.