“Ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, yang didasarkan pada hasil pemilu sebelumnya, juga dianggap menghilangkan hak partai politik baru yang menjadi peserta pemilu legislatif serentak dengan Pilpres,” tutur Yance.
Sebagai informasi, sidang kali ini membahas tiga perkara, yaitu Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, 87/PUU-XXII/2024, dan 101/PUU-XXII/2024.
Dalam perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, pemohon yang terdiri dari Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, menyatakan bahwa mereka mengalami kerugian konstitusional akibat adanya ketentuan presidential threshold dalam UU Pemilu. Mereka berpendapat aturan ini membatasi hak mereka untuk memilih presiden yang sesuai dengan preferensi politik mereka.
Sementara itu, pemohon dalam Perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024, yang terdiri dari empat dosen dan penggiat pemilu, termasuk mantan Ketua Bawaslu Muhammad, berargumen ambang batas pencalonan presiden hanya menguntungkan elit pemilu yang memiliki persentase tinggi dalam pemilu sebelumnya. Hal ini dianggap menutup akses bagi partai politik dengan persentase rendah yang tidak ingin berkoalisi.
Sedangkan pemohon dalam Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024, yang diwakili oleh Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) dan Titi Anggraini, menyatakan bahwa penerapan presidential threshold tidak sesuai dengan tujuan semula dan berdampak negatif pada sistem presidensial, yang bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam permohonannya, para pemohon meminta MK untuk memaknai Pasal 222 UU Pemilu agar pencalonan presiden dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan ketentuan tertentu.
Mereka juga mengusulkan agar Pasal 222 UU Pemilu diberlakukan dengan perubahan pada Pemilu 2029 dan seterusnya, dengan ambang batas yang lebih fleksibel untuk memperluas akses bagi partai politik baru.