TRIBUNNEWS.COM - PDIP buka suara terkait pelaporan terhadap anggota DPR, Rieke Diah Pitaloka ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) usai dianggap menjadi provokator penolakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Juru bicara PDIP, Guntur Romli mengatakan anggapan Rieke sebagai provokator adalah hal yang berlebihan.
Pasalnya, kritik Rieke terhadap kebijakan kenaikan PPN adalah kewajibannya sebagai seorang wakil rakyat.
"Tuduhan memprovokasi menurut kami itu berlebihan karena Saudari Rieke Diah Pitaloka sedang menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat, yang menyambungkan lidah rakyat, menyampaikan keprihatinan terkait rencana kenaikan PPN (menjadi) 12 persen," katanya kepada Tribunnews.com, Senin (30/12/2024).
"Saat berbicara, Saudari Rieke juga sangat sopan, menggunakan diksi 'dengan segala hormat' dan 'dengan seluruh kerendahan hati'," sambung Guntur.
Guntur khawatir publik bakal menilai adanya pembungkaman terhadap anggota DPR dari Fraksi PDIP lewat pelaporan terhadap Rieke ke MKD.
Padahal, sambungnya, marwah seorang anggota parlemen adalah menyuarakan aspirasi masyarakat.
"Apalagi jati diri anggota parlemen adalah berbicara, 'parler' untuk berbicara. Jangan sampai publik menganggap pelaporan yang berlebihan ini sebagai upaya untuk membungkam wakil rakya dari PDI Perjuangan yang kritis," tegasnya.
Baca juga: Diduga Buat Konten Provokasi Tolak PPN 12 Persen, Rieke Diah Pitaloka Dilaporkan ke MKD DPR RI
Rieke Dilaporkan ke MKD, Pemanggilan Ditunda karena Masa Reses
Sebelumnya, Rieke dilaporkan ke MKD terkait dugaan pelanggaran kode etik lantaran dianggap sebagai provokator untuk menolak kebijakan PPN 12 persen.
Ketua MKD DPR RI, Nazaruddin Dek Gam menuturkan pemanggilan terhadap Rieke ditunda karena anggota dewan masih dalam masa reses.
"Jadi, anggota-anggota masih di dapil. Jadi, kita tunda dulu lah,” ujar Dek Gam saat dihubungi, Minggu (29/12/2024), dilansir Kompas.com.
Nazaruddin memperkirakan Rieke bakal dipanggil MKD setelah masa reses selesai atau awal Januari 2025.
Di sisi lain, pelaporan terhadap Rieke dilakukan oleh seseorang bernama Alfadjri Aditia Prayoga tertanggal 20 Desember 2024.
Menurut pelapor, Rieke melakukan provokasi terhadap warga agar menolak kebijakan PPN 12 persen.
Sementara, kritik Rieke adalah agar Presiden Prabowo Subianto menunda kenaikan PPN menjadi 12 persen demi menghindari peningkatan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap buruh.
Selain itu, PPN 12 persen juga berpotensi akan menaikkan harga kebutuhan pokok ke depannya.
"Berdasarkan pertimbangan ekonomi dan moneter antara lain angka PHK meningkat, deflasi selama kurang lebih lima bulan berturut-turut yang harus diwaspadai berdampak pada krisis ekonomi dan kenaikan harga kebutuhan pokok," ujar Rieke kepada wartawan, Sabtu (21/12/2024).
Rieke lantas menjelaskan, argumentasi pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12 persen sesuai pasal 7 UU Nomor 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan dinilai juga tidak tepat.
Baca juga: Rieke Diah Pitaloka Batal Dipanggil MKD Besok, Dituding Provokasi Warga Tolak PPN 12 Persen
Oleh karena itu, dia meminta pemerintah harus mengambil secara utuh aturan tersebut.
Dalam Pasal 7 ayat (3) UU tersebut, tarif pajak pertambahan nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen setelah berkonsultasi dengan alat kelengkapan DPR RI.
Dalam UU itu juga dijelaskan, Menteri Keuangan RI diberikan kewenangan menentukan besaran PPN perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.
"Saya sangat mendukung Presiden Prabowo menunda atau bahkan membatalkan rencana kenaikan PPN 12 persen," jelasnya.
Sebagai gantinya, Rieke mengusulkan pemerintah menerapkan dengan tegas self assessment monitoring system dalam tata kelola perpajakan.
Di antaranya, perpajakan selain menjadi pendapatan utama negara, berfungsi sebagai instrumen pemberantasan korupsi, sekaligus sebagai basis perumusan strategi pelunasan utang negara.
Selain itu, terwujudnya satu data pajak Indonesia, agar negara mampu menguji SPT wajib pajak, akurasi pemetaan, perencanaan penerimaan, dan pengeluaran negara secara komprehensif, termasuk pendapatan yang legal maupun ilegal.
"Dan memastikan seluruh transaksi keuangan dan non- keuangan wajib pajak, wajib dilaporkan secara lengkap dan transparan," jelasnya.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)(Kompas.com/Tria Sutrisna)