TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengimbau agar warga Kabupaten Banyuwangi yang bernama "Tuhan" mengganti namanya.
Paling tidak, menurut MUI, pria berusia 42 tahun itu perlu menambah nama di awal atau di akhir namanya agar tidak mengandung penafsiran yang salah.
Menurut Ketua MUI Jawa Timur, KH Abdusshomad Bukhori, nama Tuhan dinilai kurang baik secara etika agama.
"Ditambah saja, atau lebih baik diganti. Sebagai hamba, nama itu melanggar etika," katanya, Senin (24/8/2015).
Abdusshomad bahkan meminta petugas pencatatan sipil untuk menarik kartu identitas, agar pemilik nama itu untuk sementara tidak dapat mengakses layanan apapun.
"Biar sementara tidak dapat mengakses layanan pemerintah, sampai dia mengganti namanya," terang Abdusshomad.
Dalam Islam, lanjutnya, tidak dipermasalahkan memakai nama "Tuhan" asalkan ada nama lain sebelum atau setelahnya agar tidak menimbulkan penafsiran yang tunggal.
Dia mencontohkan nama "Ghofur", sebetulnya nama sebutan tuhan yang berarti pemberi ampun.
Namun, di depan nama itu harus ditambah "Abdul" sehingga menjadi Abdul Ghofur yang berarti "hamba pemberi ampun".
Seorang Tukang kayu asal Dusun Krajan, Desa Kluncing, Kecamatan Licin, Banyuwangi mendadak tersohor dan banyak diperbincangkan karena bernama Tuhan.
Ayah dua anak itu merupakan anak bungsu dari 7 bersaudara dari pasangan Jumhar dan Dawiyah.
Dia mengaku tidak mengetahui alasan bapak dan ibunya memberikan nama Tuhan kepada dirinya.
Dia juga mengaku bahwa selama ini dirinya tidak merasa aneh dengan nama yang disandangnya.
Sementara itu, warga yang mengaku bernama Tuhan, mengaku tidak mengetahui alasan bapak dan ibunya memberikan nama Tuhan kepada dirinya.