News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba

Penyematan Ulos Raja Ragidup Sirara untuk Jokowi Sudah Tepat

Penulis: Jefri Susetio
Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Joko Widodo didampingi Ibu Negara Iriana Joko Widodo membuka Karnaval Kemerdekaan Pesona Toba di Soposurung, Balige, Sumatera Utara, Minggu (21/8)/2016)

Laporan Wartawan Tribun Medan, Jefri Susetio

TRIBUNNEWS.COM, MEDAN - Prof Hamdani Harahap, Guru Besar Antropologi USU mengatakan, Ulos Ragidup Sirara yang digunakan Presiden Joko Widodo saat Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba, beberapa hari lalu sudah tepat. Artinya tidak masalah.

"Ulos Ragidup Sirara memiliki arti sebagai pemberi kehidupan yang didominasi oleh warna merah. Motif ulos Ragidup Sirara memiliki garis-garis di bagian tengah, memisahkan dua bidang putih di kedua ujungnya," kata Prof Hamdani Harahap ketika dihubungi Tribun Medan (Tribunnews.com Network), Selasa (23/8/2016).

Ia menjelaskan, dalam kosmologi masyarakat Tapanuli warna merah adalah warna penghubung antar dunia atas (yang berarti kehidupan dan disimbolkan dengan warna putih) dengan dunia bawah (yang bermakna kematian dan disimbolkan dengan warna hitam).

"Mereka yang diperkenankan memakai ulos jenis ini adalah pribadi yang dinggap memiliki kehormatan karena memberi kehidupan bagi banyak orang seperti raja dan orang-orang penting lainnya," ujarnya.

Ia berpendapat, persoalan ulos pada dasarnya bukan hanya soal jenis yang dipakai dan waktu pemakaiannya. Tapi juga menyangkut siapa yang memberikan ulos dan kepada siapa diberikan.

"Pada kasus Pak Jokowi, penggunaan ulos Ragidup Sirara dinilai beberapa kalangan adalah pantas sebab Jokowi dianggap memberi harapan kehidupan yang lebih baik. Khususnya bagi masyarakat di sekitar Danau Toba dengan kebijakannya," katanya.

Persoalannya apakah pihak yang memberi ulos dianggap bisa merepresentasikan kelompok sosial masyarakat yang ada di Tapanuli.

Penting dipahami setiap kelompok sosial di masyarakat Tapanuli termasuk Toba memiliki status yang berbeda ketika berhadapan dengan kelompok sosial lainnya dan akan bisa bersifat bergiliran.

"Selama esensi tentang representasi dianggap selesai atau tidak dipersoalan, maka penggunaan Ulos Ragudup Sirara menjadi tidak masalah dan sudah pas saat karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba 2016," ujarnya.

Menurutnya, ulos merupakan identitas masyarakat asli Tapanuli. Ia tidak menyebut Batak utamanya Toba, karena ada banyak kelompok suku bangsa di dataran tinggi Tapanuli yang menggunakan terminologi Ulos untuk menyebut kain khas adatnya.

"Ulos digunakan terkait dengan ritual yang berhubungan dengan siklus kehidupan (life cycle rites), baik itu yang bersifat suka maupun duka. Mulai dari lahir hingga mati. Intinya ulos adalah seperangkat kain khas milik masyarakat yang memiliki motif tertentu dengan seperangkat nilai," katanya.

Ia mengungkapkan, penggunaan ulos sesuai rangkaian tahapan hidup manusia. Sebagian menganggap ulos bermakna melindungi, membuat nyaman dan penghormatan.

"Menurut beberapa ahli yang mempelajari budaya Tapanuli disebutkan bahwa di masyarakat Toba sendiri paling tidak terdapat belasan jenis ulos mulai dari Padang Ursa, Manggiring, Bolean, Pinan Lobu-lobu," ujarnya.

Untuk kasus ulos dan harapan Pak Jokowi tentang penonjolan identitas budaya yang ada di sekitar Kawasan Danau Toba, sebagai bagian dari upaya pengembangan wisata.

"Satu di antaranya membuat semacam cagar budaya di Istana Sisingamangaraja jelas memerlukan kajian mendalam dengan melibatkan para tokoh adat serta ilmuwan," katanya.

Dia berharap, jangan sampai kebijakan itu, menjadi bomerang seperti kasus Menteri Pariwisata yang tidak memakai pakaian adat Simalungun saat acara berlangsung di Parapat.

Kemudian, direspon oleh Bupati Simalungun yang menangis. Alasanya, budaya Simalungun kurang dipopulerkan.

"Permasalahan itu, memperlihatkan pengembangan kawasan wisata Danau Toba berpotensi bersifat segmentatif dan sektoral. Karena itu, perlu diantisipasi masalah yang ada," ujarnya.

Ia mengatakan, ketika muncul klaim bahwa Danau Toba hanya menjadi ikon bagi kelompok masyarakat tertentu, maka bukan tak mungkin suku lain akan cemburu dan tidak mendukung pembangunannya.

"Bagi saya, paling mungkin dilakukan adalah dipilih kawasan yang secara iconic bisa merepresentasikan semua kelompok sosial masyarakat di sekitaran Danau Toba. Atau malah memberdayakan kawasan yang sudah ada agar lebih dikenal," katanya.

Ia menuturkan, sebut saja Taman Iman di Dairi, Salib Kasih dan Taman Imannya di Tarutung, Keramat Kera di Girsang Sipangan Bolon Simalungun. Seluruhnya jelas berpotensi dikembangkan sebagai objek wisata pendukung.

"Masalanya, apakah Badan Otoritas Danau Toba akan mau dan bisa menjadi clearing house bagi seluruh kabupaten yang ada di sekitar Danau Toba? Menyangkut kawasan yang bisa menjadi simbol dari seluruh budaya etnik yang ada di Kawasan Danau Toba mungkin bisa dilakukan dengan membuat Taman Mini Kawasan Danau Toba sebagaimana TMII di Jakarta," ujarnya.

Model Taman Mini Kawasan Danau Toba harus dikelola secara integratif dan berkelanjutan. Sehingga, pagelaran adat dan budaya masyarakat yang ditampilkan di dalamnya secara terjadwal dan informasinya bisa diakses publik.

"Bila perlu, Pekan Raya Sumatera Utara dipindahkan di kawasan Danau Toba. Atau bisa juga disarankan setiap kabupaten atau kota yang berdekatan dengan Kawasan Danau Toba merancang antraksi," katanya.

Tidak hanya itu, setiap tema dari budaya masyarakat layak dijual dan dijadikan sebagai alasan bagi orang untuk datang ke kawasan model Taman Mini atau Pekan Raya Sumatera Utara tersebut.

"Namun perlu diingat pengelolannya harus benar-benar professional. Bagi saya rencana mega proyek pengembangan kawasan Danau Toba apapun sifatnya dan ragam kegiatannya jangan sampai tidak menyentuh mentalitas masyarakat," ujarnya.

Dia berujar, selama masyarakat di sekitaran Danau Toba tidak siap menjadi pelayan bagi tamu yang datang maka pembangunan infrastruktur menjadi sia-sia. Pengunjung Danau Toba masih merasakan lebih enak dan nyaman membeli oleh-oleh berupa mangga Parapat di Siantar atau di Medan dari pada membelinya di Parapat.

"Perubahan sikap ini hanya mungkin terjadi jika nilai melayani dan dilayani dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat di sekitar Danau Toba yang ke depan akan menjadi tuan rumah," katanya.

Pada agenda membangun softskill atau nilai pendukung inilah kiranya semua komponen masyarakat perlu bekerja sama dengan Badan Otoritas Danau Toba tanpa mengabaikan peran pemerintah daerah yang ada di sekitar kawasan Danau Toba. (tio/tribun-medan.com)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini