Sejauh ini sang istri yang mengemudikan motor, dia yang membonceng.
"Kalau berangkat kerja, dulu istri saya yang mengantar. Tapi sekarang sudah tidak karena istri juga punya kesibukan memayet kain di rumah. Jadi saya naik angkot kalau berangkat kerja," katanya.
Berapa pun pendapatan yang diterima Agus menjadi tukang parkir, tidak pernah ia keluhkan.
Sekadar cukup untuk makan anak dan istrinya dia sudah mengucap syukur.
Penghasilan yang didapat tidak tentu, karena tergantung ramai atau tidaknya yang memarkirkan kendaraan.
Meski begitu, dia sangat berharap kepada pemerintah untuk sedikit memperhatikan orang-orang yang senasib dengannya.
Entah dengan cara memberikan keterampilan atau peluang pekerjaan.
Sebab, katanya, penyandang cacat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya lantaran sangat sedikit peluang kerja yang bisa menerima penyandag difabel.
"Kalau saya sih sudah tua, sudah tidak ada keinginan neko-neko. Yang penting kerja. Kasihan penyandang cacat fisik yang masih anak-anak, jangan sampai mereka putus asa dengan kondisinya. Maka, saya meminta agar mereka diperhatikan sama pemerintah," katanya. (*)