Tetapi untuk urusan gaji, sang majikan terbilang sadis. Parinah hanya sekali menerima gaji selama berkerja pada keluarga itu di Arab Saudi sebanyak 3 ribu real.
Selanjutnya, selama bekerja untuk keluarga itu di Inggris, Parinah hanya menerima satu kali pemberian dari bosnya sebesar 1.000 pound sterling.
"Terakhir diberi seribu pound, saya kirimkan ke keluarga di rumah,"katanya
Parinah tak tinggal diam ketika haknya tak terpenuhi. Ia berulangkali menanyakan gaji kepada majikannya. Namun permohonannya selalu dibalas dengan harapan palsu.
Sang majikan selalu menunda pemberian gajinya hingga belasan tahun sampai ia bosan menanyakannya.
Parinah bukan hanya tak merasakan hasil keringatnya, hidupnya bahkan tertawan oleh sang majikan. Ia tidak diperkenankan menengok keluarganya di tanah air.
Parinah tidak diberi akses sedikitpun untuk sekadar bertukar kabar dengan keluarga di kampung halaman. Akses dia keluar rumah dibatasi ketat. Parinah hanya diizinkan keluar dengan syarat didampingi majikan.
Dengan kondisi demikian, Parinah tentu kehabisan akal untuk melarikan diri atau mencari bantuan.
Batinnya teraniaya setiap kali bayang anak-anaknya yang ia lihat terakhir 18 tahun silam terlintas.
Foto usang anaknya jadi penawar rindu sesaat. Selain itu, ia melampiaskan kekangenan tersebut dengan mengurai air mata, hingga berderai.
"Kalau kangen lihat foto, terus menangis," katanya. (*)