Pekerjaan huntara juga berkoordinasi antara BNPB, TNI dan juga PUPERA.
Dilansir Kompas.com, ada beberapa fakta soal terjadinya tsunami Selat Sunda.
Seperti pada hari sebelumnya, tepat pada 21 Desember 2018 pukul 13.51 WIB, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengumumkan erupsi Gunung Anak Krakatau berada di level waspada.
Kemudian, pada 22 Desember 2018 pukul 07.00 WIB, BMKG mengeluarkan peringatan dini potensi gelombang tinggi di sekitar perairan Selat Sunda.
Erupsi dan gelombang tinggi ini disebutkan memicu gelombang tsunami di perairan Selat Sunda.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono menyebutkan, aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau dan gelombang tinggi karena faktor cuaca di perairan Selat Sunda memicu gelombang tsunami.
Rahmat menyampaikan, apabila dipicu oleh erupsi Gunung Anak Krakatau, maka gelombang tsunami mencapai sekitar 90 sentimeter.
Namun, karena adanya gelombang tinggi akibat faktor cuaca, arus gelombang tsunami bertambah lebih dari 2 meter.
Hari ini, Minggu (22/12/2019) , BNPB mengunggah satu tahun tsunami selat Selat Sunda melalui akun Twitter resminya.
"Sabtu, 22 Desember 2018 kita dikejutkan dengan bencana Tsunami di Selat Sunda. Tidak ada ada gempa besar sebelumnya namun tanpa disadari tiba-tiba ombak tinggi mencapai ke daratan yang meluluh lantakan," tulis admin @BNPB_Indonesia dalam cuitannya.
Tsunami Selat Sunda jelas memberi dampak begitu besar bagi para korbannya.
Pasalnya, sebelum tsunami terjadi, tidak ada gempa besar terjadi.
Namun ombak tiba-tiba meluluhtantahkan daratan di tiga wilayah Indonesia.
BNPB pun mengunggah lagi sebuah gambar yang menjadi peringatan bersama untuk selalu waspada terhadap bencana.