Pasalnya, tempat mereka menyambungkan koneksi internet itu dikenal sebagai tempat atau sarang ular.
Namun, bagi Ali maupun Firnando hal itu tidak menyurutkan mereka untuk tetap dapat mengikuti pelajaran secara online.
Kedatangan ular maupun hewan liar lain hanya membuat mereka terkejut.
Tak jarang ular tersebut ditangkap sendirian oleh Firnando.
"Gak takut, kadang lagi mau ngirim tugas ada biawak. Pernah juga ada ular sanca tiba-tiba nongol," kata Firnando.
Orang tua Rezi, Eni Murya Sari (38), mengaku prihatin dengan kondisi anaknya.
Dirinya was-was saat anaknya masuk ke dalam kebun pisang demi menyambung internet.
Karena keadaan ekonomi keluarga yang tak memungkinkan, Erni hanya bisa memantau dari kejauhan.
"Sebenarnya was-was karena di sini sarang ular, tapi mau gimana lagi, mau beli kuota kita gak ada uang," kata Eni.
Karena itu, setiap anaknya berburu WiFi di kebun belakang rumah, Eni memastikan tidak terjadi apa-apa terhadap anaknya.
"Sebentar, sebentar pasti saya panggil. Namanya ibu sama anak pasti cemas, tapi mereka ya biasa saja, gak takut gitu," katanya.
Menurut Eni, sistem belajar daring sangat memberatkan, karena harus menambah pengeluaran selain untuk membeli kebutuhan pokok.
Ia merinci, untuk anaknya yang duduk di bangku sekolah dasar ini, bisa menghabiskan uang Rp 200 ribu sebulan, hanya untuk beli kuota internet.
"Mending belajar di sekolah saja, dengan uang segitu sudah bisa beli kebutuhan sehari-hari buat sebulan," keluh Eni.
(Tribunlampung.co.id/Muhammad Joviter)
Artikel ini telah tayang di tribunlampung.co.id dengan judul Masuk Sarang Ular Demi Belajar Daring, Cerita 4 Pelajar di Bandar Lampung Tak Mampu Beli Kuota